Oleh: Ram
Kampas
Banyak
teman Muslim kurang mengenal sosok istimewa ini, atau mengenalnya sekedar
secara sempit dan bias. Soalnya dalam teks umum yang mengisahkan proses tentang
kompilasi Quran, sosok Abdullah ibn Mas’ud sering dikesampingkan dengan
sengaja. Kenapa begitu? Ya, Ibnu Mas’ud adalah pakar pengajian yang diakui
Muhammad. Ia terlalu tahu akan konten Quran dan tidak segan-segan memprotes
mushaf edisi khalifah yang dianggap dipaksakan proses kompilasinya menjadi kanon
keshahihan. Sejak semula ia telah menolak sejumlah
surat dan isi ayat yang ada didalam Mushaf Utsman (Quran sekarang ini). Dengan
demikian sikap Ibn Mas’ud yang kontra-arus mayoritas (baca: otoritas kekuasaan)
ini dianggap merugikan bahkan membahayakan Islam, yang bagaimana pun tidak bisa
mengakui adanya versi “tandingan”. Itulah sebabnya ia perlu disingkirkan sejak
dulu – apalagi sekarang ini – disaat orang sudah tidak mungkin mengubah atau
mengotak-atik “kesempurnaan-tunggal” mushaf Utsman.
Tetapi
sejarah mencatat mushaf Ibn Mas’ud sempat sangat populer dan memiliki pengaruh
yang luas khususnya di Kufah, Iraq, sehingga jejak-jejaknya masih berhasil diungkapkan kembali
sebagian sebagian, seperti yang sempat diriwayatkan oleh Ibn
al-Nadim dalam
versi Fihrist, dan juga al-Suyuthi dalam versi Itqan. Mushaf Ibn Mas’ud
misalnya tercatat tidak memuat surat-surat ke 1, 113, dan 114. Urutan surat
juga berbeda, dimana surat pertama adalah al-Baqarah (surat Quran ke-2), diikuti
surat al-Nisa’ (surat ke-4), baru Ali Imran (surat-3), Al-A’raf (surat-7) dll.
Juga banyak ayat dalam Quran (yang sekarang ini) yang ternyata berbeda
teksualnya, misalnya dalam surat
al-Baqarah saja
tercatat tidak kurang dari 101 perbedaan teks terhadap apa yang dihimpun Ibnu
Mas’ud dari mulut Muhammad! Semua basmalah dikeluarkan karena tidak dianggap wahyu.
Sekalipun praktis tidak ada orang Muslim yang mau mengambil resiko melawan arus
dengan mengadopsi jejak-jejak mushafnya Ibn Mas’ud (karena semua fragmen dan
mushaf tandingan sebagai bukti kebenaran itu sendiri telah termusnahkan akibat
dari dekrit Utsman), namun integritas dan otoritas keilmuan Ibn Mas’ud tidaklah
bercacat sebagaimana yang terjadi pada diri Utsman.
Ibn Mas’ud
sering di-stigmatisasi oleh pakar Islam sekarang ini sebagai orang yang
emosionil dan banyak ber-ulah. Tetapi jangan lupa, ia yang polos dan berwatak
lugas itu tentu layak menjadi marah ketika ia dizalimi secara kotor. Orang
seperti Ibn Mas’ud tidak akan “ber-ulah” sembarangan. Ia adalah sosok yang
dikenal sangat serius, kritis, dengan integritas yang tidak menjilat. Ia adalah
salah satu Sahabat Nabi yang paling awal memeluk Islam dan berhubungan sangat
dekat dengan Nabi dan keluarganya. HR al-Bukhari meriwayatkan bahwa ibn Mas’ud
dan ibunya bebas keluar-masuk rumah Rasulullah SAW, bahkan diizinkan untuk
mendengarkan pembicaraan rahasia keluarga Nabi, sekalipun istrinya tidak
mengenakan hijab (HR.Muslim). Ibn Hisyam dalam bukunya “Life of Muhammad”
melaporkan bahwa ia adalah Muslim pertama yang membacakan bagian dari ayat-ayat
Al-Quran secara lantang dan terbuka kepada kaum Quraisy yang melemparinya
dengan batu. Dia pula yang menjadikan dirinya algojo bagi pemenggalan kepala
Abu Jahl demi Nabinya. Huzaifah bin al-Yaman (sahabat dari kaum Ansar) sampai
memberi testimony tentang akhlak
dan perilakunya yang mirip Rasulullah yang diteladaninya:
Aku tidak
pernah melihat seseorang yang kekhusyukan dan perilakunya lebih dekat dengan
Rasulullah SAW dibanding Ibnu Mas’ud.
Selain dari itu, ia pulalah yang paling dipuji dalam hal pengajian dan otoritas keilmuan Al-Quran oleh Nabi sendiri:
Belajarlah
mengaji Quran dari 4 orang: dari Abdullah bin Mas’ud – beliau
memulai dengan nama ini –
Salim, eks-budak merdeka dari Abu Hudhaifah, Mu’adh bin Jabal, dan Ubay bin
Ka’b. (Sahih al-Bukhari, V, pp.96-97)
Perhatikan
bahwa anak kalimat yang digaris bawahi itu adalah komentar dari perawi terkenal
Masruq. Itu menunjukkan bahwa diantara orang-orang Muslim pada masa itu, Ibn
Mas’ud dianggap sebagai sosok yang otoritasnya paling terkemuka dalam hal
Quran.
Ia diakui
sebagai fakih dan hafiz, guru dan qadi bagi penduduk Kufah. Ia senantiasa
menyertai Nabi dalam bepergian dan tidak absen dalam banyak peristiwa yang
kritis. Ia turut dalam sejumlah peperangan bersama-sama dengan Nabi (perang
Badr, Uhud, Khandaq), dan ikut sumpah setia Baiat ar-Ridwan di lembah
Hudaibiyah, tahun 6 H. Dengan demikian ketika wahyu-wahyu turun kepada Nabi
yang memang tidak mengenal tempat dan waktu khusus, maka Ibn Mas’ud-lah orang
yang paling
sempat dan mampu mencatatnya secara benar. Itu sebabnya beliau berani bersumpah: “Demi
Allah, tidak ada satu ayat pun dari Al-Quran tanpa kuketahui latar
belakang diturunkannya
ayat tersebut. Tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui tentang Kitabullah
dibanding aku. Meskipun begitu, aku bukanlah orang yang terbaik diantara
kalian.” (HR.Ahmad bin Hanbal)
Dia
mengklaim mengetahui semua latar belakang diturunkan setiap ayat yang
dicatatnya! Itu sebabnya dia berani menolak surat 113 dan 114 sebagai wahyu,
karena latar belakang kedua surat tersebut diketahuinya sebagai sebentuk doa
yang dipanjatkan Nabi untuk mendapatkan perlindungan Ilahi bagi kedua
cucunya, Hasan dan Husen. Tidak berkata sembarangan, Ibn Mas’ud dan memang
hanya dia yang sudah membuktikan otoritasnya dalam satu acara khusus dimana ia
mendemontrasikan mengaji (tekstual) hingga lebih dari 70 Surat, dimana Nabi
sendiri hadir, dan tidak ada seorang pun diantara
hadirin yang menyalahkan pengajiannya (Sahih Muslim, vol 4, p.1312 ). Itu sedikitnya
berarti bahwa kumpulan 70 surat tersebut adalah kanonik, shahih dihadapan Nabi dan proven bacaannya dihadapan publik! Dialah, dan bukan Zayd,
Utsman, dll yang berani berkata apa seadanya :
“Saya mendapatkan langsung dari Rasulullah
70 surat ketika Zayd masih remaja kanak-kanak. Apakah kini saya harus membuang
apa yang saya peroleh langsung dari Rasulullah?” (Ibn
Abi Dawud, Kitab al-Masahif, p.15)
Jadi
kenapa kelak Zayd dan Utsman tidak sedikitpun merujukkan ke-70 Surat kanonik
tersebut ketika mereka berusaha membukukan Quran? Atau sedikitnya
menyertakan pemiliknya duduk dalam Panitia Pembukuan Quran? Atau paling tidak
menjadikannya “tempat berkonsultasi”, jikalau Muhammad sendiri pun sempat
diperintahkan Allah untuk berkonsultasi kepada pembaca pembaca kitab Taurat dan
Injil ketika beliau ada keraguan atau ketidak tahuan? (Qs.10:94;16:43).
Mengingat
kapasitas Ibn Mas’ud ini, dan fakta bahwa jumlah surat dan ayat yang diturunkan
di Mekah – dengan volume hampir 70
% dari total wahyu –
adalah jauh lebih besar dari pada yang diturunkan di Medinah, jelaslah bahwa
keabsahan mushaf Ibnu Mas’ud menjadi paling berwibawa. Tidak ada orang yang
bisa membantah (kecuali menyembunyikan saja) bahwa dialah salah satu otoritas
terbesar dalam al-Quran, dan tanpa
tandingan untuk
surat-surat Makkiyah!
Khalifah Umar bin al-Khattab dalam suratnya kepada penduduk Kufa secara konsekwen mengkonfirmasikan keteladanan dan ilmunya:
Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, sesungguhnya aku mengutamakan Abdullah bin Mas’ud atas diriku. Maka tuntutlah ilmu darinya.
Sebagai
tambahan, Ibnu Mas’ud ini bukan hanya di-qualified oleh Nabi, melainkan juga
olehJibril menurut
tradisi. Ia dikatakan turut hadir ketika Muhammad sedang me-review Al-Quran
dengan Jibril setiap tahun; dan bahwa dialah yang telah berhasil mengumpulkan
90 Surat (Ibnu Sa’d, Kitab al-Tabaqat al-Kabir, vol.2, p 441, 457). Maka ketika
ia masih menyaksikan kedua surat 113 dan 114 hadir sebagai bagian mushaf
Utsmani, iapun berkata:
"Jangan
menulis ke dalam Quran apa yang bukan bagiannya!"
Bagaimana
dengan Surat Al-Fatihah itu sendiri?
Seperti
yang disebutkan diatas dan yang sudah diketahui luas, Surat Pembukaan ini –
berdasarkan latar belakang wahyu yang diturunkan – ternyata tidak dimasukkan
oleh Ibn Mas’ud dalam koleksi mushafnya. Surat yang paling diagungkan Islam ini
justru tidak punya silsilah kapan dan dimana ia diturunkan Allah kepada
Muhammad, atau diturunkan setelah surat yang mana juga tidak diketahui dengan
pasti!
Ada pakar
yang berspekulasi bahwa surat ini termasuk surat Makkiyah, tetapi ada yang
mengakuinya sebagai surat Madaniyah (Lihat pelbagai ensiklopedi Islam, atau
Muqaddimah Terjemahan Quran oleh Moh. Rifai). Ibn al-Hassar secara kuat
memastikan 20 surat Madaniyah dan 82 surat Makkiyah, dan menyisakan 12 surat
yang dipertentangkan makki-madani-nya,
dimana salah satunya adalah surat al-Fatihah! (lihat al-Itqan I/44-45). Malahan
ada yang meyakini surat itu diturunkan dikedua tempat tersebut. Sedangkan
sejumlah ulama termasuk Syeik Allamah Thabathabai malahan mengatakan surat
istimewa itu telah diturunkan berulang-ulang, ya di
Mekah, ya di Medinah, menjadikan Jibril hampir tak ada kerjaan
lain kecuali mengurusi Surat ajaib ini berulang-ulang!
Muslim
awam akan kaget mendapati kenyataan ini. Sebab bukankah Surat yang bernama
Al-Fatihah sudah menunjukkan bahwa ia harus ditempatkan sebagai Surat
Pembukaan (al-Fatihah),
jadi, ya seharusnya ia merupakan surat awal Makkiyah! Lagi-lagi ini kekeliruan
menyusuli kekeliruan! Si penyanggah ini lupa bertanya, “Siapakah yang memberi
nama “al-Fatihah” dan siapa yang menempatkan surat tersebut?” Hanya apabila
Allah yang memberi nama dan penempatan lewat wahyuNya, maka ia mempunyai legitimasi
ilahi sebagai
Pembuka Al-Quran yang sesungguhnya, dan bukan sempalan manusia. Tetapi dimanapun
dalam Quran, Muhammad tidak pernah memberikan judul bagi surat-suratnya, melainkan hanya
disebut namageneriknya saja
sebagai “sebuah surat”, atau “suatu surat” (Qs.2:23, 9:86, 24:1 dst).
Surat-surat ini dalam sejarah awal Islam, dirujuk dengan pelbagai nama yang
beragam, sebagiannya telah dibuang, dan baru muncul pembakuan judul
surat-surat yang membuktikan bahwa itu semua adalah penjudulan
manusia...
Merupakan
suatu hal yang pasti bahwa nama-nama yang diberikan kepada surat-surat itu
bukanlah bagian dari Quran. Tidak jelas kapan munculnya nama-nama surat yang
beragam itu…sekitar pertengahan abad ke-8 dapat dipastikan bahwa nama-nama
surat yang beragam itu telah memasyarakat” (Taufik A. Amal, Rekonstruksi
Sejarah al-Quran, p.211-212).
Keraguan
akan pewahyuan Surat Al-Fatihah ini sungguh didukung oleh segudang fakta
historis, antara lain menyangkut hal-hal berikut ini :
1).
Surat al-Fatihah ini tidak mempunyai pijakan asal-usul dan sebab-musabab
pewahyuannya; ia yang sekalipun dianggap surat paling terhormat, namun muncul
begitu saja tanpa silsilah!
2).
Kosong-kronologi, tidak diketahui kapan ia diturunkan dan dimana. Bahkan tak
ada indikasi ia diturunkan setelah ayat atau surat apa.
3).
Tidak memiliki legitimasi ilahi dalam tata-letaknya sebagai Ummul Kitab,
al-Kafiyah, al-Asas dan sebagai surat pertama, sebab bukan Muhammad yang
menetapkannya disana. Pernahkah Nabi menetapkan: “Letakkan surat al-Fatihah
sebagai Surat pertama dari semua Quran yang terkumpul?”
4).
Kosong dari saksi-mata, sebab siapakah yang sudah membacanya sebagai wahyu
sebelum hijrah? Al-Fatihah hanya diketahui muncul ketika liturgi Islam
dibakukan dalam tradisi shalat setelah mikraj dan hijrah ke Medinah.
5).
Konsekuensi fatal yang tidak ingin dilihat oleh Muslim, bahwa konten wahyunya
menunjuk secara lurus: ia
yang wahyu dipersekutukan dengan non-wahyu!
NB.
Menurut makna dan isi teksnya, al-Fatihah jelas bukan seruan doa dari Allah
tetapi sebaliknya, seruan
doa manusia kepada
Allah. Namun menurut formatnya, ia tidak mungkin lain dari sebentuk wahyu
langsung ucapan Allah sebagaimana seluruh kalimat Quran itu adalahseruan
Allah. Jadi bagaimanakah memahaminya?
Lihat
bahwa Allah tidak menyertakan kata tanda “Qul” [Katakan (hai Muhammad)...] kedalam surat
ini, khususnya untuk ayat 5-7, yang memperlihatkan bahwa ia hanyalah sebentuk
doa dari manusia, bukan kata-kata verbatim dari mulut Allah. Bukankah penandaan
kata ini sudah dibakukan secara khusus dan sudah diserukan oleh Allah sendiri
sebanyak 332 kali “Qul” diseluruh Quran? Maka mungkinkah surat al-Fatihah akan
dilalaikan dari satu kata “Qul”/“Katakan”…bilamana Allah menginginkan
KalimatNya itu diulangkan oleh Muhammad? Kata-seruan itu mutlak diperlukan demi
menjaga agar FirmanNya
jangan sampai dipersekutukan kedalam “firman manusia.”
Salah
paham antara Nabi dan sahabatnya tentang keberadaan ayat-ayat selalu bisa
terjadi, dan sebagiannya tampaknya sudah luput dari catatan sejarah. Salah
paham sejenis khususnya mudah terjadi untuk bentuk “bacaan doa pendek” dari
Nabi, yang lalu dianggap sebagai kalimat wahyu, karena kebetulan bacaan itu
bertema DOA dan diucapkan oleh Nabi secara sakral dan transenden dalam situasi
doa. Dalam suasana demikian, kalimat-kalimat yang berkarakter demikian juga
mungkin diaktualkan sebagai wahyu mistis, larger
than life –
oleh Muhammad ataupun para sahabatnya, entah sengaja atau tidak – karena
akseptasi bersama. Dan itu agaknya dipenuhi sebaik-baiknya oleh “surat” 1, 113,
dan 114, yang memang semuanya adalah ujud-ujud doa pekat yang agak puitis,
lengkap dengan nuansa pemujaan dan penyembahan!
Ingat
analogi legenda
mikraj yang juga dikisahkan larger
than life sampai
ke langit ketujuh, namun tidak disinggung sedikitpun dalam Quran sendiri!
Namun
sayang, Muslim sekaliber Ibnu Mas’ud ini – dalam moral, pengetahuan Quran, dan
integritas yang berani berjuang melawan-arus tanpa pamrih – ia justru
disisihkan Utsman secara sistematik, tanpa didengarkan sedikitpun! Ia yang
paling diotorisasikan oleh Muhammad untuk mengajar Quran (termasuk “mengajar”
Zayd dan Utsman tentunya!), kini tidak diajak duduk dalam kepanitiaan
penyusunan ulang Al-Quran. Ia yang terbukti memiliki sedikitnya 70 surat yang
kanonik tanpa terbantah, ternyata samasekali tidak dirujukkan koleksinya oleh
Zayd dan Komisi Pengumpulan Al-Qurannya. Melainkan Zayd justru secara
insidental merujukkannya kepada koleksi Khuzaymah bin Thabit al-Ansari (yang
belum teruji) untuk satu ayat Quran yang kelolosan, yaitu ayat 23 surat
al-Ahzaab! Bukankah itu pilihan konyol? Siapa yang memastikan hanya ayat itu
saja yang kelolosan dan tidak ada yang lainnya? Malahan oleh Utsman,
koleksi Ibn Mas’ud itu harus dilenyapkan tanpa
dipersalahkan! Dan ia sendiri dipecat dari jabatannya
di Kufah. Alangkah malangnya sahabat Nabi yang satu ini...
[Kita
bangsa Indonesia masih teringat akan kasus “tercolongnya” satu ayat dalam
Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang sudah disetujui DPR (ayat 2 Pasal 113 UU
Kesehatan, tahun 2009) yang menyangkut soal tembakau. Bukankah pihak yang
bertanggung jawab dalam penghilangan itu akan diperiksa dan dituntut?]
Nah, Zayd
yang bertanggung jawab atas pengumpulan mushaf Abu Bakar yang ternyata
(sedikitnya) defisit satu ayat tersebut, tidak diperiksa, apalagi dituntut. Ia
malahan dijadikan pahlawan atas keberhasilan “penemuan” kembali satu ayat
Khuzamah yang dia sendiri korupkan tadinya. Dan revisi mushaf yang
dihasilkannya tidak diperiksa ulang, melainkan taken for
granted sebagai
karya sempurna! Dari sisi ini saja, tanpa usah berprasangka, kita menyadari
bahwa Mushaf Utsman yang dianggap purna-sempurna identik seperti apa yang tertulis di Lauhul
Mahfudz tablet di sorga, sebenarnyalah harus ditempatkan dalam kesalahan
sebesar seperti apa yang diumumkan – dan
yang dimaksudkan – oleh Ibn Mas’ud sendiri, yaitu ;
“Jangan
menulis kedalam Quran apa yang bukan bagiannya!”
[dikutip dari ; www.answeringislam.org]
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN BERKOMENTAR YANG SOPAN, SEMUA KOMENTAR YANG TIDAK SOPAN AKAN DIHAPUS_SANG TIMUR