[Episode ini sungguh merupakan sebuah teladan
moral yang sangat bagus dan begitu dipuja serta ditiru diberbagai belahan dunia oleh kalangan kita muslim yang taat dan soleh yang berusaha menjadi muslim yang kaffah, yakni ; merampok, merampas, menjarah dan membunuh sebuah keluarga dengan kejam termasuk suami, sementara pada hari yang
sama memaksa bini korban yang masih stress dan berkabung untuk meladeni gelora seks sang nabi tauladan kita yang sudah semakin meledak-ledak nafsu birahinya dan memaksanya menjadi
istrinya....]
Berikut ini adalah sebuah episode
memilukan bagi keluarga Safiyah Binti Huyai Ibn Akhtab, wanita Yahudi yang
ditangkap ketika pasukan Muhammad menyerang Khaibar dan membawanya kepada Nabi teladan
kita sebagai bagian dari rampasan perang. Muhammad memberi perintah agar
Kinana, suami yang masih muda dari Safiyah, dianiaya hingga mati supaya ia
(Kinana) mengaku dimana harta karun kota tersebut disimpan. Pada malam yang
sama itu juga, Muhammad mengambil Safiyah dan dibawa ke ranjangnya, memaksanya
meladeni nafsu binatangnya lantas menjadikan dia secara paksa sebagai istrinya…
Kisah ini dilaporkan secara detil oleh
Tabari. Kisah ini juga dapat ditemui dalam Sirat Ibn Ishaq. Yang berikut ini
dilaporkan dalam buku dari Tabaqat yang disusun oleh Ibn Sa’d.
Dua tahun sebelumnya Muhammad telah
memancung kepala Huyai, ayahnya Safiyah, beserta 900 pria dari Bani Quraiza.
Huyai Ibn Akhtab, ayah Safiyah, adalah
pemimpin Bani Nadir, salah satu suku Yahudi dari Medina. Para pengikut Muhammad
telah membunuh sepasang suami istri Arab yang sebelumnya telah menandatangani traktat
perdamaian dengan Muhammad. Nabi memutuskan untuk membayar uang darah kepada
keluarga korban yang salah dibunuh. Ia lalu pergi ke Bani Nadir untuk meminta
kepada mereka agar membayarkan uang darah ini. Permintaan itu sangat aneh,
sebab orang-orang Yahudi tak ada sangkut pautnya dengan pembunuhan tersebut.
Namun orang-orang Yahudi ini takut kepada Muhammad, karena Muhammad sebelumnya
telah menghancurkan suku Yahudi yang lain, yaitu Bani Qainuqah dan oleh karena
itu mereka takut hal ini akan terjadi juga kepada mereka.
Orang-orang Yahudi selalu bersikap
pengecut hingga hari ini dan mereka telah membayar harga atas sikap pengecut
mereka. Kapankah mereka cukup belajar bahwa seseorang tak mungkin senang dengan
gangster??? Kapankah mereka akan belajar bahwa mereka harus berperang melawan
kelompok orang seperti itu?
Para tua-tua bani Nadir akhirnya
mengumpulkan uang yang diminta. Muhammad dan para sahabatnya duduk dibawah
sebuah dinding-perteduhan dikawasan Yahudi sambil menanti. Namun, maksud
Muhammad sebenarnya adalah untuk menghancurkan Yahudi dan mengambil semua harta
yang mereka miliki, dan bukan sekedar uang darah untuk kejahatan dari
pengikut-pengikutnya. Muhammad berharap orang Yahudi akan memprotes sehinggga
ia justru dapat memakai ini sebagai alasan untuk menyerang mereka.
Setelah duduk-duduk dan menantikan, ia
tiba-tiba bangkit dan pergi tanpa mengatakan apa-apa kepada siapapun. Para
pengikutnya melihat bahwa ia berjalan terus, maka mereka pun pergi juga.
Akhirnya Muhammad mengatakan kepada mereka, bahwa ada malaikat Jibril yang
memberitahukan kepadanya, bahwa orang-orang Yahudi sedang merencanakan untuk
melemparinya dengan sebuah batu dari atas dinding-perteduhan dan ingin
membunuhnya. [Kalau ada peringatan Jibril tentang rencana pembunuhan, mengapa para
pengikutnya ditinggalkan diam-diam?]. Ini tentu saja sebuah kebohongan. Kalau
Bani Nadir betul-betul ingin membunuhnya, mereka tidak perlu melemparkan batu
padanya. Muhammad ada dalam tangan mereka ketika itu. Mereka itu justru takut,
dan inilah yang harus mereka bayar dengan nyawa mereka kelak.
Muhammad kemudian menyerang Bani Nadir dan
memutuskan aliran air mereka. Ketika mereka menyerah, Muhammad berketetapan
untuk membunuh mereka semua. Namun Abdullah Ibn Obay, seorang pemimpin tua Arab
Medina mengintervensi. Muhammad khawatir hal ini akan menyebabkan perpecahan
diantara pengikutnya sehingga ia akhirnya memutuskan tidak membunuh Bani Nadir.
Sebagai gantinya ia mengambil semua harta kekayaan dan properti milik bani
Nadir serta mengusir mereka.
Maka Bani Nadir pun mengungsi ke Khaibar,
yang merupakan benteng orang-orang Yahudi di sebelah Utara Medina. Inilah yang
membuat Safiyah tinggal di Khaibar dan menikahi Kinana, pemimpin muda dari kota
tersebut. Akan tetapi, ayah Safiyah, Huyai, dipancung lehernya ketika Muhammad
menyerang suku Yahudi yang terakhir di Medina, yaitu Bani Quraiza.
Safiyah berumur 17 tahun dan sangat
cantik. Ketika Muhammad menyerang Khaibar ia membunuh semua lelaki disana.
Orang-orang tidak siap untuk berperang. Mereka diserang secara mendadak.
Muhammad bukanlah seorang pahlawan perang terbuka, melainkan seorang teroris
yang melakukan penyergapan. Peperangannya disebut gazwah, yaitu
sergapan/penyerangan dadakan. Maka Muhammad pun menangkap Kinana dan menyiksa
dia karena Muhammad ingin tahu dimana harta kekayaan kota tersebut
disembunyikan. Ia menusukkan batangan besi yang panas pada mata Kinana dan
membutakannya. Kinana adalah pemuda ksatria, ia tidak buka mulut.
Seorang Yahudi lain (mungkin nenek
moyang-nya Noam Chomsky dan George Soros) telah mengabarkan kepada Muhammad
dimana ia dapat menemukan harta kekayaan tersebut. Orang-orang Yahudi selalu
memberikan saham kepada para pengkhianat.
Kinana mati dibawah penyiksaan Muhammad.
Kemudian Muhammad menanyakan kepada orang-orangnya untuk membawakan kepadanya
gadis yang paling cantik. Safiyah adalah yang tercantik berumur 17 tahun, istri
dari Kinana. Bilal membawa Kinana dan sepupu perempuan Kinana menghadap
Muhammad. Namun ketika sepupu perempuan Kinana ini melihat jenazah saudaranya
terpotong-potong, ia pun menjadi histeris. Muhammad kemudian marah besar dan
memerintahkan, “Bawa setan perempuan ini pergi dari saya”.
Kemudian ia berkata kepada Bilal,
“Tidakkah engkau mempunyai perasaan manusiawi sehingga menjejerkan
wanita-wanita di depan jenazah orang yang mereka cintai?” Wah! Betapa hebatnya
sang Nabi yang penuh dengan belas-asih dan perasaan manusiawi!?
Selanjutnya ia membawa Safiyah ke
tendanya, sebab ia telah menjadi seorang janda. Muhammad mengasihaninya dan
memutuskan untuk mengambil ia sebagai istrinya. Tentu saja [muslim berkilah],
fakta ia muda dan cantik tidak ada hubungannya dengan keputusan Nabi. Masih ada
beratus-ratus wanita lain yang juga telah menjadi janda pada hari tersebut.
Berikut ini adalah periwayatan Tabaqat.
“Safiyah dilahirkan di Medina. Ia berasal
dari suku Yahudi Banu I-Nadir. Ketika suku ini diusir dari Medina tahun 4 AH,
Huyai adalah salah satu dari orang-orang yang menetap di wilayah subur Khaibar
bersama Kinana Ibn al-Rabi’ yang menikahi Safiyah sesaat sebelum Muslim
menyerang Khaibar. Ia berumur 17 tahun. Sebelumnya ia adalah istri dari Sallam
Ibn Mishkam yang menceraikannya. Disinilah, satu mil dari Khaibar, Nabi
menikahi Safiyah. Dia dipelihara dan dirawat untuk Nabi oleh Umm Sulaim, ibu
dari Anas Ibn Malik. Mereka menginap disana. Abu Ayyub al-Ansari menjaga tenda
Nabi sepanjang malam. Pada saat subuh, Nabi yang melihat Abu Ayyub berjalan
hilir mudik itupun bertanya kepadanya apa maksudnya, dan ia menjawab: “Saya
khawatir akan engkau karena perempuan muda itu. Engkau telah membunuh
ayahnya, suaminya, dan banyak dari keluarganya, dan dia juga masih seorang
kafir. Saya sungguh khawatir terjadi apa-apa karena dia. Nabipun mendoakan Abu
Ayyub al-Ansari (Ibn Hisham, p.766). Safiyah telah meminta kepada Nabi untuk
menunggu hingga ia telah lebih menjauh dari Khaibar. “Kenapa?” tanya Nabi.
“Saya mengkhawatirkan engkau karena orang-orang Yahudi yang masih dekat dengan
Khaibar!”
Alasan Safiyah menolak pendekatan seksual
Muhammad tentu saja jelas bagi setiap orang yang berpikir. Saya percaya,
praktis semua wanita memilih untuk berkabung ketimbang melompat ke dalam
ranjang – bercengkerama dengan si pembunuh dari ayahnya, dan pembunuh suami dan
banyak anggota keluarganya, pada hari yang sama.
Tetapi kenyataannya Nabi Allah ini tak
dapat menahan desakan nafsu seksualnya untuk satu hari saja dengan membiarkan
perempuan muda ini untuk berkabung. Ini semua menggambarkan karakter moral
Muhammad. Ia adalah seorang psikopat tanpa hati nurani dan empati.
Untuk kelanjutan kisah ini kita tidak tahu
persis apakah benar atau telah direkayasa oleh ahli sejarah Muslim yang ingin
mengosongkan adanya kesan pemaksaan perkosaan. Tetapi ini adalah semua yang
kita punyai, dan untuk menemukan kebenaran kita hanya bisa bergantung pada
dokumen-dokumen yang terlihat bias (ter-plintir) ini, yang dilaporkan dan
ditulis sepihak oleh orang-orang Muslim.
Kisah selanjutnya menggambarkan Abu Ayyub
yang mengkhawatirkan keselamatan Nabi, karena Nabi telah membunuh ayah, suami
dan sejumlah anggota keluarga Safiyah. Hal ini logis. Tentu saja bodoh untuk
tidur dengan seorang wanita dimana orang-orang yang dicintai oleh wanita
tersebut baru dibunuhnya. Namun tampak bias alasan penolakan Safiyah terhadap
pendekatan seksual Muhammad, tampak sekali kurang masuk akal. Ketika Muhammad
membawa wanita muda ini ke dalam tendanya, ia telah membunuh banyak orang
Yahudi, dan memperbudak orang-orang Yahudi lainnya.
Jikalau masih ada orang Yahudi yang
tertinggal, maka mereka mungkin lebih mengkhawatirkan hidup mereka sendiri
ketimbang masalah Safiyah apakah ia diperkosa atau tidak. Lagipula wanita ini
telah ada di dalam tenda sendirian dengan Muhammad, jadi bagaimana orang-orang
Yahudi akan mengetahui kalau-kalau mereka melakukan hubungan seks? Alasan ini
kedengarannya bodoh dan tampaknya dipaksakan oleh Muslim untuk mengklaim bahwa
Safiyah-lah yang menginginkan hubungan seks dengan Muhammad, dan bila tidak,
itu hanya karena Safiyah mengkhawatirkan keselamatan Nabi (jadi bukan karena
ada unsur pemaksaan/perkosaan).
Muslim adalah sekelompok orang bodoh
tertentu yang mempercayai omong kosong yang paling konyol tanpa berpikir, namun
saya percaya ada kelompok lain yang wajar menyadarinya sebagai sebuah
kebohongan.
Dikatakan lebih lanjut,
“Hari berikutnya Walima (pesta pernikahan)
diselenggarakan atas nama Nabi...”
Harap dicatat bahwa penulis sejarah ini
berkata, bahwa pernikahan terjadi satu hari setelah Muhammad sendirian dengan
Safiyah dan melakukan hubungan seks dengan dia. Ini tidak mendatangkan
persoalan kepada Nabi, karena ia telah mendapatkan wahyu Allah yang mengatakan
bahwa tidur dengan wanita yang ditangkap dari peperangan adalah baik-baik saja
tanpa usah menikahi mereka, sekalipun mereka telah bersuami tadinya.
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini)
wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki… “ (Surat 4:24)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Muhammad
tidak berpendapat bahwa para budak mempunyai hak-hak apapun. Ketika Muslim
berkuasa, ini akan menjadi nasib bagi semua wanita non-Muslim. Muslim tidak
dapat mengubah sedikitpun apa yang telah dikatakan atau dikerjakan oleh
Muhammad. Dan ini telah dikonfirmasikan di tempat-tempat lainnya:
1. Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman,
2. (yaitu) orang-orang yang khusyu'
dalam sembahyangnya,
3. dan orang-orang yang menjauhkan
diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,
4. dan orang-orang yang menunaikan
zakat,
5. dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya,
6. kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada terceIa.
7. Barangsiapa mencari yang dibalik
itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Surat 23:1-7).
Marilah kita meneruskan kisah Safiyah.
Dikatakan,
“Para istri Nabi lainnya menunjukkan
cemburunya dengan melakukan pelecehan terhadap keyahudiannya. Namun Nabi selalu
membelanya. Suatu kali Safiyah dilukai dengan olok-olokan dari istri-istri Nabi
yang Arab itu secara melampaui batas. Maka iapun (Safiyah) mengeluhkan hal
tersebut kepada Nabi yang merasa sangat mengasihinya. Ia menghiburnya. Ia
membesarkan hatinya. Ia memberi pikiran logis kepadanya. Ia berkata: “Safiyah,
bersikap teguh dan beranilah. Mereka tidak memiliki apapun yang melebihi
engkau. Katakan kepada mereka: “Aku adalah anak putri Nabi Harun, keponakan Nabi
Musa, dan istri dari Nabi Muhammad...”
Ketika ia dibawa bersama dengan para
tahanan perang lainnya, Nabi berkata kepadanya,
“Safiyah, ayahmu selalu membenci aku
hingga Allah menetapkan keputusan terakhir.”
Ia menjawab, “Tetapi Allah tidak menghukum
seseorang atas dosa orang lain.”
Hal ini (apa yang dikatakan Nabi) jelas
berlawanan dengan perilaku Muhammad sendiri yang sudah menghancurkan seluruh
Bani Qainuqa dengan alasan bahwa beberapa diantara mereka telah membunuh
seorang Muslim ketika mereka membela dengan membalaskan kematian seorang
Yahudi. Muhammad membinasakan seluruh anggota suku itu, ketika membalas
kematian satu orang Muslim! Padahal Muslim tersebut telah terlebih dahulu
membunuh seorang Yahudi, namun itu tidak dianggap/diperhitungkan oleh Muhammad.
Ia membutuhkan sebuah alasan demi mendapatkan harta-kekayaan mereka.
Ini sungguh mengabaikan ayat yang berkata:
“bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (Surat
53:38). Jadi jelas bukan Allah yang membuat keputusan akhirnya. Maka tampak
betapa orang yang satu ini mencuci tangannya terhadap kejahatannya sendiri.
Ayah Safiyah dibunuh oleh Muhammad, bukan Allah [tetapi Muhammad
memplintirkannya seolah Allah-lah yang memutuskan]. Jikalau Allah mengingini
membunuh seluruh orang-orang tersebut, Ia tentu telah melakukannya dengan
cara-Nnya sendiri. Allah tidak memerlukan pembunuh bayaran (yang merampas
harta) untuk melaksanakan kehendakNya.
Dikatakan lebih lanjut,
“Kemudian Nabi memberinya kebebasan untuk
memilih apakah Safiyah mau tetap bergabung dengan kaumnya, ataukah menerima
Islam dan masuk dalam hubungan pernikahan dengan dia”.
Memberinya kebebasan? Kebebasan macam
apakah itu?Muhammad telah membunuh suaminya dan semua anggota keluarganya.
Kemanakah ia harus pergi sekarang? Melebur dengan orang-orang dari kaumnya?
Orang-orang manakah itu? Orangnya praktis telah terbunuh dan wanita-wanitanya
telah ditawan dan jadi budak.
“Dia sangat pintar dan lembut hati dan
berkata: “ O Rasul Allah, aku telah berharap akan Islam, dan aku telah menegaskan
sebelum undanganmu. Kini ketika aku mendapat kehormatan berada dihadapanmu, dan
diberi kebebasan untuk memilih diantara kafir dan Islam, maka aku bersumpah
demi Allah, bahwa Allah dan Rasul-Nya adalah lebih berharga kepadaku ketimbang
kebebasan diriku dan bagaimana aku sebelumnya bergabung dengan kaumku.”
Apakah ini sebuah pengakuan, yaitu
pengakuan yang jujur? Apakah ia bebas dan aman mengutarakan pikirannya? Ia
ditawan oleh seorang lelaki yang telah menghabisi keluarganya. Sesungguhnya ini
menunjukkan dengan jelas betapa ia tidak bebas berulah. Ia mungkin saja sangat
pintar menyiasati sebuah dusta demi menyelamatkan dirinya, tetapi lebih mungkin
lagi kisah ini telah dikarang untuk menceritakan sebuah dusta tersendiri!
Ketika Safiyah menikah, ia masih sangat
muda, dan menurut sebuah laporan ia hampir berumur 17 tahun dan berperawakan
amat sangat cantik. Ada satu kali Aisyah berkata tentang kekurangannya
(mencela), untuk mana Nabi berkata, “Engkau telah mengatakan sesuatu yang
apabila itu dimasukkan ke dalam laut, maka hal itu akan melebur bersama air
laut itu (dan mengeruhkan airnya).” (Abu Dawud)
Ia tidak hanya sangat dalam mencintai
Nabi, tetapi juga sangat besar rasa hormatnya kepadanya sebagai Rasul Allah.
Sebab ia telah mendengar apa yang dikatakan oleh ayah dan pamannya ketika
mereka pergi ke Medinah. Ketika hijrah ke Medinah mereka datang bertemu dengan
dia untuk mengetahui apakah dia betul Rasul Allah yang sejati seperti yang
disampaikan oleh Alkitab. Ketika mereka pulang dan berbicara bersama malam itu,
Safiyah ada ditempat tidurnya dan mendengar pembicaraan mereka. Salah satunya
berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang dia?” Ia menjawab, “Ia adalah Nabi yang
sama yang dinubuatkan oleh Alkitab kita.” Lalu berkata yang lain, “Apa yang harus
dilakukan?” Dan jawabannya adalah bahwa mereka harus melawannya dengan segala
kekuatan.”
Kisah ini, yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud, apakah dapat dipercayai? Bagaimanakah caranya kedua orang Yahudi biasa
itu mengenal Muhammad sebagai nabi yang dinubuatkan oleh Kitab Suci, lalu (kok
malah) memutuskan untuk melawannya dengan segala kekuatan mereka? (Semestinya
bila mereka tahu itu nabi yang dikisahkan Musa, mereka justru akan
mendukungnya!). Jadi semuanya adalah kontra logika. Hanya orang Muslim yang
“tekor-intelektuil” yang akan percaya akan kisah nonsense ini.
Dikatakan, dia sangat mencintai Muhammad
yang adalah pembunuh ayah dan suaminya? Betapa naifnya Muslim dapat mempercayai
periwayatan ini? Bagaimana seorang gadis muda cantik berumur 17 tahun dapat segera
mencintai seorang tua bangka yang giginya ompong dan badannya berbau? Bacalah
buku saya “Understanding Muhammad” untuk mengetahui betapa postur Muhammad
cacat dan berbau. Kita curiga bahwa kata-kata tersebut berasal dari Safiyah,
dan andaikata itu benar, orang akan mencium hal itu sebagai kebohongan Safiyah
dalam usahanya untuk mencari keselamatan diri. Kita hanya memerlukan otak yang
aktif untuk mendapati kebohongan Muslim.
Kenapa seseorang sampai perlu mati-matian
melawan seseorang lainnya yang diketahuinya sebagai nabi yang dijanjikan dalam
Alkitab? Dan dimana Muhammad dijanjikan dalam Alkitab? Adakah Muhammad disebut
dalam Alkitab? Baca artikel ini untuk melihat dusta yang menyedihkan seperti
itu. Muhammad tidak disebut di dalam Alkitab maupun di dalam kitab sakral
manapun.
“Maka Safiyah pun yakin akan kebenaran
sang Nabi. Ia tak lelah-lelahnya mengurus dan merawat dia (Muhammad), serta
memberikan semua kenyamanan yang dapat diupayakannya. Ini terlihat sejak ia
menjadi bagian dalam kehidupannya (Muhammad) setelah jatuhnya Khaibar.”
Lihat betapa penulis menyangkal dirinya
sendiri dalam satu halaman yang sama? Hanya beberapa baris sebelumnya kita
membaca bahwa Safiyah ditawan dan dibawa kepada Muhammad sebagai tawanan, bukan
atas kemauannya sendiri. Ia dibawa kepada Muhammad sebab ia muda dan cantik.
“Nabi sedikit kecewa kepadanya karena ia
pada awalnya (dalam perjalanan) telah menolak Nabi ketika ingin menggaulinya
(hubungan seks). Pada perhentian perjalanan berikutnya, Nabi menggaulinya
hingga sepanjang malam. Ketika ia (Safiyah) ditanyai oleh Umm Sulaim, “Apa yang
engkau lihat pada diri Rasul Allah?” Ia berkata bahwa dia (Muhammad) sangat
senang terhadapnya dan tidak tidur melainkan bercakap-cakap sepanjang nalam.
Dia (Muhammad) bertanya kepadanya, “Mengapa engkau menolak ketika aku mau
menggaulimu pertama kalinya?” Ia menjawab, ‘Aku mengkhawatirkan engkau sebab
tempatnya dekat dengan Yahudi’. “Hal ini meningkatkan nilaiku lebih lanjut
dimatanya.” (Tabaqat)
Bukhari juga telah mencatatkan beberapa
Hadits yang menceritakan tentang invasi Khaibar dan bagaimana kisah Muhammad
bertemu dengan Safiyah.
Diriwayatkan ‘Abdul’ Aziz:
Anas berkata, “Ketika Rasul Allah
menginvasi Khaibar, kami melakukan shalat Subuh disana ketika hari masih
gelap... Ketika ia memasuki kota, ia berseru, “Allahu Akbar! Khaibar
diruntuhkan… Kami menaklukkan Khaibar, menawan tawanan, dan barang jarahan
dikumpulkan. Dihya datang dan berkata, ‘O Rasul Allah! Berilah aku seorang
budak perempuan diantara tawanan’. Nabi berkata, ‘Pergi dan ambillah budak
perempuan yang mana saja’. Iapun mengambil Safiya binti Huyai. (Tetapi)
Seseorang datang kepada Nabi dan berkata, ‘O Rasul Allah! Engkau memberikan
Safiya binti Huyai kepada Dihya, padahal ia (Safiya) adalah perempuan paling
terkemuka dari suku Quraiza dan An-Nadir dan ia hanya pantas untuk engkau
saja’. Maka Nabi berkata, ‘Bawa ia (Dihya) bersama dia (Safiya)’. Maka keduanya
menghadap dan ketika Nabi melihat Safiya, iapun berkata kepada Dihya, ‘Ambillah
gadis budak mana saja dari para tawanan selain dia’. Anas menambahkan: Nabi
membebaskan perbudakannya dan mengawininya.” [Nabi menelan janji pertama, dan
menggantikannya dengan janji kedua, ketika tersilau dan bernafsu dengan
kecantikan Safiyah. Contoh moral surgawi!].
Thabit bertanya kepada Anas, “O Abu Hamza!
Apa yang Nabi bayarkan kepadanya (Safiya) (sebagai mahar)? Ia menjawab,
“Dirinya sendiri adalah maharnya sebab dia (Muhammad) telah membebaskannya dari
perbudakan dan kemudian mengawininya.” Anas menambahkan, “Ketika dalam
perjalanan, Um Sulaim mendandaninya untuk upacara perkawinan dan pada malamnya
dia mengirimnya sebagai pengantin perempuan untuk Nabi”. (Shahih Bukhari 1367)
Mahar adalah “emas kawin” yang diperoleh
pengantin perempuan dari pihak suaminya tatkala ia mengawininya. Muhammad tidak
membayar mahar kepada Safiyah, sebab ia (Muhammad) harus membayarkan kepada
dirinya sendiri untuk memerdekakan Safiyah. Kisah ini adalah luar biasa, sebab
ini memberi pencerahan kepada kita tentang nilai-nilai moral dan etika dari
Muhammad dan para pengikutnya yang keblinger. Muhammad adalah seorang psikopat.
Namun Muslim tidak mempunyai rasa malu. Muslim meng-idola-kan seorang psikopat
dan menginginkan kita juga untuk menghormati mereka. Apakah ke-tolol-an ini
layak atas sebuah penghormatan? Dengan mengikuti orang yang tidak waras semua
orang akan bertindak tidak waras.
Setiap orang yang terhormat atau orang
normal jijik mendengar kisah semacam ini, namun Muhammad mengajarkan bahwa ia
akan memperoleh 2 pahala dengan mengawini Safiyah. Satu adalah untuk
memerdekakan seseorang yang sesungguhnya ia tawani sendiri, dan kedua adalah
mengambilnya untuk menikahinya.
“Abu Musa melaporkan bahwa Rasul Allah
berkata tentang seseorang yang memerdekakan seorang wanita budak, dan kemudian
menikahinya, bahwa baginya tersedia 2 pahala.” (Shahih Muslim buku 008, nomor
3327)
[sayangnya tidak disebutkan bahwa yang
mengawininya adalah pembunuh ayah, suami, dan famili dari si wanita budak yang
dikawini. Dan wanita budak tersebut adalah budak yang terjadi karena ulah dari
yang akan mengawininya!]
Tidakkah ini menjijikkan? Buanglah
ke-tolol-an “yang terhormat” dan berkelit-kelit ini dan namakanlah hitam adalah
hitam. Muslim adalah sekelompok moron. Bagaimana mungkin bisa demikian konyol?
Diriwayatkan oleh Anas:
Nabi melakukan sholat subuh dekat Khaibar
tatkala hari masih gelap dan ia berkata, “Allahu Akbar” Khaibar dihancurkan,
sebab ketika kami menghadapi bangsa (lawan yang diperangi), maka kejahatan akan
menjadi pagi hari bagi mereka yang telah diperingati.”
Maka penduduk Khaibar lari keluar ke
jalan-jalan. Sang Nabi telah membunuh pahlawan-pahlawan mereka, keturunan
mereka, dan wanita yang ditawan sebagai tawanan. Safiyah adalah salah satu
diantara tawanan. Dia pertama-tama diambil untuk menjadi milik Dahya Alkali,
namun kemudian ia menjadi milik Nabi. Nabi memerdekakan dia sebagai maharnya.
(Shahih Bukhari V5 B59 N512).
Sungguh merupakan sebuah teladan kenabian yang sangat bagus dan layak
ditiru kita muslim ; sekeluarga dibunuh dengan kejam termasuk suami, harta dirampas,
sementara pada hari yang sama dia dipaksa meladeni gelora seks sang nabi dan
memaksanya sebagai istrinya....
Judul asli : "The Jewish Wife Of Muhammad", oleh Ali Sina