Tuesday, September 24, 2013

AJARAN ISLAM AWAL MULA BERKEMBANG DI JAWA(INDONESIA).




Dalam setiap khotbahnya, para mubaligh, para ustadz , para kyai dan para guru ngaji, seringkali “berseloroh” bahwa islam disebarkan keseluruh dunia secara damai tanpa pertumpahan darah,
demikian juga klaim mereka yang terjadi di tanah Jawa yang juga dengan cara damai tanpa pertumpahan darah melalui misi perdagangan, benarkah demikian?

Tanpa bermaksud menyakiti hati siapapun, saya hanya ingin sedikit membangunkan umat muslim yang telah begitu lama di-ninabobo-kan oleh kisah-kisah yang dikesankan “damai” yang dilakukan para penyebar islam di Jawa oleh para wali. Bila apa yang ditulis dalam “Babad Tanah Jawi” mengenai penyebaran islam itu dianggap dengan cara damai oleh para mubaligh, saya sungguh sulit memahaminya, karena ternyata “damai” yang ditulis dalam “babad” tersebut penuh dengan pertumpahan darah, dendam dan kekejian yang tiada terkira yang benar-benar diajarkan oleh para wali sebagai representasi ajaran islam sesungguhnya. Dalam kisah arus utama, para wali begitu dipuja dan dianggap merepresentasikan “kaum putih” melawan penguasa Majapahit sebagai “kaum merah”. Tapi benarkah para wali itu berbudi luhur seperti yang didengungkan?. Sumber sejarah paling sahih tentunya “buku sejarah tentang tanah jawa” yang dikenal sebagai “BABAD TANAH JAWI” (Sejarah Tanah Jawa) yang mengisahkan runtuhnya Kerajaan Besar Majapahit yang sebelumnya menguasai Nusantara dan sekitarnya karena ulah keji dan anarkis khas islam yang dibawa para wali dari tanah Arab....

Sebelum anda memberikan komentar, sebaiknya baca dulu cuplikan terjemahan bebas dari “Babad Tanah Jawi” dibawah ini dan jangan lupa dengan referensi QS 2;19 dan QS 8;12. Bahasa terjemahan ini sudah diperhalus oleh penulis agar dapat diterima umum karena bahasa aslinya dianggap terlalu vulgar, silahkan meneruskan membaca ;
[Suatu hari, Darmo Gandhul bertanya kepada Ki Kalamwadi demikian, “Awal mulanya bagaimana sehingga orang Jawa meninggalkan agama Buddha dan masuk agama Islam ?” Ki Kalamwadi lantas bercerita, “Hal ini perlu diketahui, supaya orang yang tidak tahu bisa mengerti. Pada jaman dahulu negara Majapahit itu namanya negara Majalengka. Adapun nama Majapahit itu, hanya untuk pasemon, tetapi yang belum tahu riwayatnya menganggap bahwa nama Majapahit itu memang sudah demikian namanya sejak semula. Raja Majalengka yang terakhir bernama Prabu Brawijaya. Waktu itu sang Prabu sedang gundah gulana. Sang Prabu tanpa tahu sedang “diakali” para wali, diberikan hadiah perempuan cantik dan terpaksa kawin dengan Putri Campa(Cina) yang beragama Islam. Putri Campa “sesuai misi rahasianya” selalu berusaha mempengaruhi sang raja tentang “keluhuran” agama Islam. Setiap bertemu selalu memuji agama Islam sehingga menyebabkan Sang Prabu terpikat dengan agama Islam. Sang Prabu Brawijaya memiliki seorang putra dari istri Cina-nya yang lahir di di Palembang yang dikemudian hari disebut Raden Patah, sang penguasa islam pertama di tanah Jawa setelah dengan cara “keji” persis dan sesuai ajaran islam dengan merebut tahta dari bapaknya sesuai ajaran dan rencana para wali dengan penuh pertumpahan darah”.
Menurut aturan leluhur dari ayahandanya yang beragama Jawa Buddha, putra raja yang lahir di gunung, namanya adalah Bambang. Jika menurut alur ibu, sesebutannya adalah Kaotiang. Adapun jika orang Arab sebutannya adalah Sayid atau Sarib. Lalu sang Prabu meminta pertimbangan sang Patih, menurut sang Patih maka putra sang Prabu tersebut dinamai Bambang, akan tetapi karena ibunya Cina, lebih baik disebut Babah artinya lahir di negara lain.
Negeri Majalengka, pada suatu hari Prabu Brawijaya sedang dihadap Patih serta para madya bala. Patih memberi laporan bahwa baru saja menerima surat dari Tumenggung Kertasana. Isi surat memberi tahu bahwa negeri Kertasana sungainya kering. Sungai yang dari Kediri alirannya menyimpang ke timur. Sebagian surat tadi bunyinya begini, “Disebelah barat laut Kediri, beberapa dusun-dusun rusak. Semua itu terkena kutukan ulama dari Arab, namanya Sunan Bonang. Mendengar kata Patih tersebut, Sang Prabu sangat marah dan murka. Patih kemudian diutus ke Kertasana, memeriksa keadaan senuanya, penduduk dan hasil bumi yang diterjang air bah ? Serta diperintahkan memanggil Sunan Bonang. Sang Prabu kemudian memerintahkan kepada Patih, orang Arab yang di tanah Jawa diusir pergi, karena membuat kerepotan negara, hanya di Demak dan Ampelgading yang boleh melestarikan agamanya. Selain dua tempat diperintahkan kembali ke negerinya. Jika tidak mau pergi diperintahkan untuk dibunuh, jawab Patih, ” Gusti ! benar perintah Paduka itu, karena ulama Giripura sudah tiga tahun juga tidak menghadap dan tidak mengirim upeti. Mungkin maksudnya hendak menjadi raja sendiri, tidak merasa makan minum di tanah Jawa. Berarti santri Giri hendak melebihi wibawa Paduka. Namanya Sunan Ainul Yakin, itu nama dalam bahasa Arab, artinya Sunan itu budi, Ainal itu makrifat, Yakin itu tahu sendiri. Jadi maknanya tahu dengan pasti. Dalam bahasa Jawa sama dengan kata Prabu Satmata. Itu nama luhur yang hanya dimiliki Yang Maha Kuasa, maha melihat. Di dunia tidak ada duanya nama Prabu Satmata, kecuali hanya Batara Wisnu ketika bertahta di negeri Medang Kasapta.
Mendengar kata Patih, kemudian Sang Prabu memerintahkan untuk memerangi Giri. Orang di Giri geger, tidak kuat menanggulangi amukan prajurit Majapahit. Sunan Giri lari ke Bonang, mencari bantuan kekuatan. Setelah mendapat bantuan , kemudian perang lagi musuh orang Majalengka. Perang ramai sekali, waktu itu tanah Jawa sudah hampir separo yang masuk agama Islam, orang-orang pesisir utara sudah beragama Islam. Adapun yang di selatan masih tetap memakai agama Buddha.
Sunan Bonang sudah mengakui kesalahanya, tidak menghadap ke Majalengka. Maka kemudian pergi dengan Sunan Giri ke Demak. Sesampainya di Demak, kemudian memanggil Adipati Demak yang adalah putra raja sendiri untuk diajak menyerang Majalengka. Kata Sunan Bonang kepada Adipati Demak, ”Ketahuilah, sekarang sudah saatnya Kraton Majalengka hancur, umurnya sudah seratus tiga tahun”. Dari penglihatan gaibku yang kuat menjadi raja tanah Jawa, menggantikan tahta raja hanya kamu. Karena itu hancurkan Kraton Majalengka, tetapi dengan cara halus, jangan sampai kelihatan. Menghadaplah besok Garebeg Maulud, tetapi siapkan senjata perang, nanti kalau semua sudah berkumpul, para sunan dan para bupati dan prajuritnya yang sudah Islam, pasti menurut kepada kamu”.  (hendaknya pembaca rehat sejenak dan merenungkan ucapan wali diatas, inilah niat awal islam di Jawa dibangun yang dimulai dengan penuh dengan “rencana dan niat jahat” tidak sesuai kultur Jawa).
Karena sadar akan ucapan dan permintaan sang wali yang ngawur tersebut, maka sang Adipati Demak(Raden Patah) berusaha menyanggahnya dengan  berkata, “Saya takut menyerang negeri Majalengka, karena memusuhi ayah dan rajaku. Apa balasan saya kecuali kesetiaan...”. Namun  Sunan Bonang berkata lagi, “Meskipun musuhmu ayah dan raja, tidak ada jeleknya, karena itu orang kafir. Kalau membunuh orang kafir Buda kawak, kamu akan mendapatkan ganjaran surga. Aku yang sudah dipuji orang sealam semesta, keturunan rasul pemimpin orang Islam semua. Kamu musuh ayah raja, meskipun dosa sekali, hanya dengan satu orang, lagi pula raja kafir. Tetapi bila ayahmu kalah, orang setanah Jawa Islam semua. Yang demikian itu, seberapa pahalamu nanti di hadapan Allah, lipat berkali-kali. Sebenarnya ayahmu itu sudah menyia-nyiakan kamu. Buktinya kamu diberi nama Babah, tahu artinya Babah ? Babah itu artinya jorok sekali yaitu saja mati saja hidup, benih Jawa dibawa putri Cina, maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang, manusia keturunan raksasa. Itu memutuskan tali kasih namanya. Ayahandamu pikirnya tetap tidak baik, maka kuanjurkan balaslah dengan halus, artinya jangan sampai ketahuan”. Namun dari gelagatnya jelas dalam batinnya Sunan Bonang berkata, “Sesaplah darahnya, remuklah tulang-tulangnya.”
Singkat cerita, sang Adipati akhirnya terpengaruh juga dan tidak lama kemudian para Sunan dan para Bupati sudah berdatangan semua. Kemudian mereka bermusyawarah untuk memperbesar masjid. Setelah jadi, kemudian mereka melakukan shalat berjamaah di Masjid. Setelah selesai shalat kemudian mereka menutup pintu. Semua orang diberitahu oleh Sunan Bonang, bahwa adipati Demak akan menjadi raja Jawa. Untuk itu Majapahit harus ditaklukkan. Mereka semua terbujuk oleh Sunan Bonang yang sangat piawai berbicara itu.
Para sunan dan para bupati sudah mufakat semua, hanya satu yang tidak sepakat, yaitu Syeh Siti Jenar. Melihat gelagat tersebut sunan Bonang marah, maka Syeh Siti Jenar dibunuh dengan cara sangat sadis khas islam, dipenggal hingga putus batang lehernya setelah sebelumnya tidak bisa mati walaupun telah direndam selama berhari-hari.
Adapun yang diperintahkan membunuh adalah Sunan Giri. Syeh Siti Jenar dipenggal kepalanya dengan keji hingga tewas setelah direndam berhari-hari ternyata tidak mati-mati juga.
Namun sebelum Syeh Siti Jenar tewas, ia meninggalkan suara, “Ingat-ingat Giri, kamu tidak kubalas di akhirat, tetapi kubalas di dunia saja. Kelak apabila ada raja Jawa yang memerintah bersama orang tua, saat itulah lehermu akan kupenggal”.
Sang Prabu Brawijaya mendengar laporan Patih sangat terkejut, berdiri mematung seperti tugu. Mengapa putranya dan para ulama datang hendak merusak negara. Sang patih juga tidak habis mengerti, karena tidak masuk akal orang diberi kebaikan kok membalas kejahatan. Semestinya mereka membalas kebaikan juga, Ki patih tak habis berpikir.
Singkat cerita, setelah pasukan Majapahit dipukul mundur oleh pasukan yang dipimpin adipati Demak Raden Patah yang adalah Putra Prabu Brawijaya sendiri beserta para ulama dan para bupati, kemudian perjalanan Prabu Brawijaya sampai di Blambangan, karena merasa lelah kemudian berhenti dipinggir mata air. Waktu itu pikiran Sang Prabu benar-benar gelap. Yang dihadapannya hanya dua abdi dalem, yaitu Noyo Genggong dan Sabdo Palon. Kedua abdi tadi tidak pernah bercanda, dan memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi. Sabdo artinya kata-kata, Palon artinya kayu pengancing kandang. Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara hamba itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya.
Tidak lama kemudian Sunan Kalijaga berhasil memburu mereka lantas Sunan Kalijaga berpura-pura bersujud menyembah di kaki Sang Prabu. Lantas sang Prabu kemudian bertanya kepada Sunan Kalijaga, “Sahid ! Kamu datang bersujud ada  perlu apa?”, Sunan Kalijaga dengan penuh kelicikan khas ajaran islam menjawab, “Hamba diutus Raden Patah untuk mencari dan menghaturkan sembah sujud kepada paduka di manapun bertemu. Beliau memohon ampun atas kekhilafannya sampai lancang berani merebut tahta paduka, karena terlena oleh darah mudanya yang tidak tahu tata krama ingin menduduki tahta memerintahkan negeri, disembah para bupati”.
(Cobalah bayangkan, bila ada seseorang yang telah dengan sengaja merencanakan dan merampok anda serta membunuh anggota keluarga anda, lantas anda lari menyelamatkan diri, kemudian bertemu perampok yang haus darah tersebut yang lantas tiba-tiba minta maaf atas kelakuanya merampok dan membantai keluarga anda yang kemudian dengan enteng berpura-pura menyatakan minta maaf, pantaskah itu? Itulah ajaran khas yang islamis)
Kemudian sang Prabu Brawijaya bersabda, ”Aku sudah dengar kata-katamu, sahid ! Tetapi tidak aku gagas ! Aku sudah muak bicara dengan santri ! Mereka bicara dengan mata tujuh, lamis semua, maka blero matanya ! Menunduk di muka tetapi memukul di belakang. Kata-katanya hanya manis di bibir, batinnya meraup pasir ditaburkan ke mata, agar buta mataku ini”.
Setelah mendengar sabda Prabu demikian, Sunan Kalijaga berpura-pura merasa bersalah karena ikut menyerang Majapahit. Ia pura-pura menarik nafas dalam dan pura-pura sangat menyesal. Sang Prabu Brawijaya berkata, “Sekarang aku akan ke pulau Bali, bertemu dengan yayi Prabu Dewa Agung di Klungkung. Aku akan beri tahu tingkah Si Raden Patah, menyia-nyiakan orang tua tanpa dosa, dan hendak kuminta menggalang para raja sekitar Jawa untuk mengambil kembali tahta Majapahit”.
Sunan Kalijaga sangat terkejut, lantas ia berkata dalam hati, “Tidak salah dengan dugaan Nyai Ageng Ampelgading, bahwa Eyang Bungkuk masih gagah mengangkangi negara, tidak tahu diri, kulit kisut punggung wungkuk. Jika beliau dibiarkan sampai menyeberang ke Pulau Bali, pasti akan ada perang besar dan pasukan Demak pasti akan kalah karena dalam posisi salah, memusuhi raja dan bapa, ketiga pemberi anugrah. Sudah pasti orang Jawa yang belum Islam akan membela raja tua, bersiaga mengangkat senjata. Pasti akan kalah orang islam tertumpas dalam peperangan”.
Demi mendengar kemarahan sang Prabu yang tak tertahankan, Sunan Kalijaga merasa tidak bisa meredakan lagi, maka kemudian beliau menyembah kaki sang Prabu sambil menyerahkan senjata kerisnya dengan berkata, apabila sang Prabu tidak bersedia mengikuti sarannya, maka ia mohon agar dibunuh saja, karena akan malu mengetahui peristiwa menjijikan ini. Rupanya Sang Prabu mulai terpengaruh dan berkata, “Coba pikirkan Sahid ! Alangkah sedih hatiku, orang sudah tua renta, lemah tak berdaya kok akan direndam dalam air”.
Melihat akal bulusnya mulai menampakkan hasil, Sunan Kalijaga memendam senyum dan berkata, “Mustahil jika demikian, besok hamba yang tanggung, hamba yakin tidak akan tega putra paduka memperlakukan sia-sia kepada paduka. Akan halnya masalah agama hanya terserah sekehendak paduka, namun lebih baik jika paduka berkenan berganti syariat rasul, dan mengucapkan asma Alloh. Akan tetapi jika paduka tidak berkenan itu tidak masalah, toh hanya soal agama. Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk jika belum paham syahadat itu juga tetap kafir namanya”.
Singkat cerita, setelah Sunan Kalijaga berkata banyak-banyak sampai akhirnya Prabu Brawijaya terpengaruh dan pindah agama Islam, setelah itu minta potong rambut kepada Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya tidak mempan dipotong, Sunan Kalijaga lantas berkata, “Sang Prabu dimohon Islam Lahir bathin, karena apabila hanya lahir saja, rambutnya tidak mempan digunting”.
Sang Prabu kemudian berkata kalau sudah lahir bathin, maka rambutnya bisa dipotong. Sang Prabu setelah potong rambut kemudian berkata kepada Sabdo Palon dan Noyo Genggong, “Kamu berdua kuberi tahu mulai hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan memeluk agama Islam. Aku sudah menyebut nama Alloh. Kalau kalian mau, kalian berdua kuajak pindah agama rasul dan meninggalkan agama Buddha”.
Namun Sado Palon berkata sedih, ”Hamba ini Ratu Dang Hyang yang menjaga tanah Jawa, siapa yang bertahta, mejdi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, terun-temurun sampai sekarang. Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa. Hamba jika tidur sampai 200 tahun. Selama hamba tidur selalu ada peperangan saudara musuh saudara, yang nakal membunuh manusia bangsanya sendiri. Sampai sekarang ini umur hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, sejak pertama menepati agama Buddha. Baru paduka yang berani meninggalkan pedoman luhur Jawa. Kalau hanya ikut-ikutan akan membuat celaka muksa paduka kelak”, demikian kata Wiku utama ini yang kemudian disambut halilintar yang bersahutan dilangit.
Prabu Brawijaya disindir oleh Dewata karena masuk agama Islam, yaitu dengan perwujudan keadaan di dunia ditambah tiga hal : (1) rumput Jawan, (2) padi Randanunut, dan (3) padi Mriyi. Sang Prabu melanjutkan bertanya, “Bagaimana niatmu, mau apa tidak meninggalkan agama Buddha masuk agama rasul, lalu menyebut Nabi Muhammad Rasulalloh dan nama Alloh?”.
Namun dengan sedih Sabdo Palon berkata lirih, ”Paduka masuklah sendiri, hamba tidak tega melihat watak sia-sia, seperti manusia Arab itu, menginjak-nginjak hukum, menginjak-nginjak tatanan. Jika hamba pindah agama, pasti akan celaka muksa hamba kelak. Yang mengatakan mulia itu kan orang Arab dan orang Islam semua, memuji diri sendiri. Kalau hamba mengatakan kurang ajar, memuji kebaikan tetangga mencelakai diri sendiri. Hamba suka agama lama menyebutkan Dewa Yang Maha Lebih”.
Sang Prabu berkata lagi, “Aku akan kembali kepada yang suwung, kekosongan ketika aku belum maujud apa-apa, demikianlah tujuan kematianku kelak”.  Namun disahut Naya Genggong, “Itu matinya manusia tak berguna, tidak punya iman dan ilmu, ketika hidup seperti hewan, hanya makan minum dan tidur. Demikian itu hanya bisa gemuk kaya daging. Penting minum dan kencing saja, hilang makna hidup dalam mati”.
Sahut sang prabu, ”Aku akan muksa dengan ragaku”. Namun Sabdo Palon tersenyum dan tertawa terkekeh-kekeh sambil menimpalinya, ”Kalau orang Islam terang tidak bisa muksa, tidak mampu meringkas makan badannya, gemuk kebanyakkan daging. Manusia mati muksa itu celaka, karena mati tetapi tidak meninggalkan jasad.
Sang Prabu menjawab, ”Keinginanku kembali ke akhirat, masuk surga menghadap Yang Maha Kuasa”. Sabdo Palon balik berkata, “Akhirat, surga, sudah paduka bawa kemana-mana, dunia manusia itu sudah menguasai alam kecil dalam besar. Paduka akan pergi ke akhirat mana, nanti tersesat! Bila mau hamba ingatkan jangan sampai paduka mendapatkan kemelaratan seperti pengadilan negara. Jika salah menjawab tentu dihukum, ditangkap, dipaksa kerja berat dan tanpa menerima upah. Masuk akhirat Nusa Srenggi. Nusa artinya Manusia, Sreng artinya berat sekali, Enggi artinya kerja. Jadi maknanya manusia dipaksa bekerja untuk Ratu Nusa Srenggi, Apa tidak celaka ! Paduka jangan sampai pulang akhirat, jangan sampai masuk surga, malah tersesat, banyak binatang mengganggu, semua tidur berselimut tanah, hidupnya bekerja dengan paksaan, paduka jangan sampai menghadap Gusti Allah, karena Gusti Allah itu tidak berwujud tidak berbentuk. Wujudnya hanya asma, meliputi dunia dan akhirat, paduka belum kenal, kenalnya hanya seperti kenalnya cahaya bintang dan rembulan. Saya tidak tahan dekat apalagi paduka, Kangjeng Nabi musa toh tidak tahan melihat Gusti Allah, maka Allah tidak kelihatan hanya Dzatnya yang meliputi semua mahluk. Paduka bibit ruhani bukan malaikat, manusia raganya berasal dari nutfah menghadap Hyang Lata wal Hujwa, jika sudah lama minta yang baru tidak bolak-balik, itulah hidup-mati”.
Sang Prabu bertanya, “Dimana Tuhan yang Sejati ?”. Sabdo Palon menjawab dengan cerdas, “Tidak jauh tidak dekat, Paduka bayangannya, paduka wujud sifat suksma, sejatinya tunggal budi, hawa, dan badan. Tiga-tiganya itu satu, tidak terpisahkan, tetapi juga tidak berkumpul. Paduka itu raja mulia tentu tidak akan khilaf kepada kata-kata hamba ini”. “Apa kamu tidak mau masuk agama Islam?”, timpal sang prabu. Sabdo Palon sedih mendengarnya lantas berkata, “Ikut agama lama, kepada agama baru tidak !! Kenapa Paduka berganti agama tidak bertanya hamba ? Apakah Paduka lupa nama hamba Sabdo Palon?”.
“Bagimana ini, aku sudah terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan Sahid, aku tidak boleh kembali kepada agama Buddha lagi, aku malu apabila ditertawakan bumi dan langit“,demikian sabda sang prabu. “Iya sudah, silakan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan”, kata Sabdo Palon kepada Prabu Brawijaya.
Sang Prabu mendengar kata-kata Sabdo Palon dalam batin merasa sangat menyesal karena telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Buddha. Lama beliau tidak berkata, kemudian ia menjelaskan bahwa ia masuk agama Islam itu juga karena terpikat bujuk rayu Putri Campa, yang mengatakan bahwa agama Islam itu kelak apabila mati, masuk surga yang melebihi surganya orang kafir.
Namun Sabdo Palon berkata tegas sambil meludah dihadapan sang raja, ”Sejak jaman kuno, bila laki-laki menurut perempuan, pasti sengsara, karena perempuan itu utamanya wadah, tidak berwewenang memulai kehendak”. Lantas Sabdo Palon banyak-banyak mencaci Sang Prabu yang terdiam seribu bahasa.
Sabdo Palon berkata bahwa dirinya akan memisahkan diri dengan beliau. Ketika ditanya perginya akan kemana? Ia menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada disitu, hanya menepati yang namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud, anglela kalingan padang.
Lantas Sang Prabu bersumpah, “...besok apabila ada orang Jawa tua berpengetahuan, yaitulah yang akan diasuh Sabdo Palon. Orang Jawa akan diajari tahu benar salah”.
Kemudian Sang Prabu hendak merangkul Sabdo Palon dan Noyo Genggong, tetapi dua orang tadi telah Moksa dan menghilang dihadapan sang Prabu....


Sang Prabu menyesal dan meneteskan air matanya, kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga, “Besuk negara Blambangan gantilah dengan nama negara Banyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdo Palon ke Tanah Jawa membawa asuhannya”. Adapun kini Sabdo Palon masih dalam alam gaib.
Sejak jaman kuno belum pernah ada kerajaan besar seperti Majapahit hancur dengan disengat tawon serta digerogotin tikus saja, dan membubarkan orang sekerajaan hanya karena disantet demit. Hancurnya Majapahit suaranya menggelegar, terdengar sampai kemana-mana. Kehancurannya tersebut karena diserang oleh anaknya sendiri yang diajari ilmu kesesatan pikir oleh wali delapan atau sunan delapan yang dikemudian hari disujudi orang Jawa yang muslim. Pemberontakan tersebut sungguh-sungguh dilakukan dengan licik dan keji khas islam....
Ternyata, sebelum Sabdo Palon & Noyo Genggong moksa, mereka sempat membuat sabda berupa kutukan yang sangat terkenal hingga membuat bergetar siapapun yang mendengarnya yang kemudian dikenal orang masa kini dengan sebuta “Ramalan Sabdo Palon-Naya Genggong” seperti berikut ini ;
1. Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang negara Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh Punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya Genggong.


2. Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya: “Sabda Palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama suci dan baik.”

3. Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.
4. Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.
5. Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.

6. Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widhi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.

7. Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.
8. Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.
9. Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tanipun demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.

10. Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang. Kayupun banyak yang hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis banyak maling tapi siang hari banyak begal.
11. Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat aturan negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya telah meninggal dunia.
12. Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat persis lautan pasang.
13. Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri. Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besarpun terhanyut dengan gemuruh suaranya.
14. Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke kiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikitpun.
15. Gempa bumi tujuh kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia. Tanahpun menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal dunia.
16. Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang sebentar tidak tampak lagi diriya. Kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun bagaimana lagi, segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi.
Bila demikian, dimana letak praksis bahwa “islam disebarkan dengan cara damai” seperti klaim para mubaligh di setiap khotbahnya?  Ternyata islam dari semula di tanah Arab hingga ke tanah Jawa disebarkan secara keji dan tidak jauh dari selangkangan perempuan! Silahkan baca ulang artikel ini sebelum bikin komentar.....

2 comments:

  1. Sebentar... yg anda tau cuma QS 2:19? Dan QS 8:12 ? Dan ayat tersebut juga sudah andapotong2?
    QS 2:19 gak ada artiyg seperti anda tuliskan coba kembali di telaah, jika yg anda maksud adalah Surah Albaqarah ayat 19, jika anda pernah muslim buka kembali kitabnya...

    Yang anda andalkan hanya 2 surat dan 2 ayat saja yg selalu dibesar2kan..

    ReplyDelete
  2. SANG_TIMUR kamu bikin artikelnya gak sopan hapus aja...kamu bernafsu sekali...

    ReplyDelete

SILAHKAN BERKOMENTAR YANG SOPAN, SEMUA KOMENTAR YANG TIDAK SOPAN AKAN DIHAPUS_SANG TIMUR