TRINITAS/TRINITY DALAM AQIDAH KRISTIANI, DIPAHAMI SEBAGAI TRITHEISME DALAM AQIDAH ISLAM, PASTI TIDAK AKAN KETEMU KARENA MERUPAKAN DUA HAL YANG SANGAT BERBEDA....
[....Bila kita mau jujur, dalam setiap dialog antar pribadi
berbeda iman, khususnya umat muslim dan umat Kristiani, selalu terbentur pada
satu masalah aqidah yang selalu tidak ada titik temunya karena kesulitan dalam
memahami sebuah ajaran yang memang “telah” dengan sengaja dipahami dengan cara
keliru oleh umat muslim sejak dari awalnya, sehingga tidak pernah ketemu
juntrungannya yaitu masalah Allah Trinitas. Tak ayal, di seluruh belahan dunia
muncul kebencian umat muslim terhadap umat kristiani karena mereka dianggap
telah “menyekutukan” Tuhan Allah Yang Esa sehingga dianggap kafir dan dengan
begitu layak diperangi!!. Disinilah diperlukan tingkat kedewasaan dalam
memahami sesuatu. Contoh sederhana adalah ; -saya dulu sangat benci matematika
dan fisika karena keterbatasan saya tidak pernah dapat dengan sempurna memahami
kedua ilmu tersebut, sehingga saya dulu sangat membencinya ketika masih duduk
dibangku sekolah menengah, sehingga nilai saya selalu JEBLOK untuk kedua ilmu
tersebut. Namun alangkah naifnya dan sangat tidak adil bila misalnya saya
lantas “menyalahkan” kedua ilmu tersebut dan bahkan menganggapnya “sebagai ilmu
sesat” dengan alasan bahwa saya tidak bisa memahaminya walaupun dengan mengerahkan segenap pengetahuan yang
saya miliki!!.
Artikel dibawah ini sengaja saya muat agar para
pembaca muslim dapat memahami dengan cara yang benar akan makna aqidah Trinitas
dalam iman kristiani. Artikel ini saya copy dari laman BAMBANG NOORSENA CENTER,
karangan Bambang Noorsena,SH,MA yang adalah juga mantan muslim dengan judul asli, “Keesaan Allah dalam Dialog Teologis
Kristen-Islam”.
Selamat membaca...]
بسم الاب والابن و الروح القدس، الاله الواحد،آمين
(Dalam Nama Bapa dan Putra dan Roh
Kudus, Allah Yang Maha Esa, Amin).
1. Catatan Pendahuluan
قل لا إله إلا الله, ولا شىء إلا الله , و كن مسيحياً
Qul: Lâ Ilaha illa llâh wa lâ syai’an illa llah
wa kun Masîhiyyan.
Artinya: “Katakanlah ; Tidak ada
ilah selain Allah, dan
Ungkapan
ini ditulis oleh Kahlil Gibran, seorang penyair Kristen Lebanon dalam bukunya
Iram Dzat al-Imad (Iram, Kota yang Berbenteng).
Ketika Kahlil Gibran menulis ungkapan dalam syairnya tersebut, bukan hal yang
menghebohkan di dunia Arab, karena memang Kristen dan Islam berakar pada budaya
dan bahasa yang sama. Lain di Lebanon, lain pula di Indonesia. Salah satu
artikel saya, “Lâ Ilaha illa llâh: Tauhid dalam Kristen dan Islam”,
pernah bikin heboh media massa di Indonesia beberapa tahun lalu.
Wacana ini
pada waktu itu saya munculkan, bukan karena saya sekedar mencari sensasi,
tetapi lebih-lebih didorong oleh keprihatinan karena kesenjangan yang kian
melebar dalam dialog teologis Kristen-Islam di Indonesia, khususnya dalam
“bahasa teologis”. Hal tersebut disebabkan, karena Kekristenan yang berkembang
di Indonesia sudah sangat mapan berwarna Barat, meskipun Kekristenan, seperti
halnya Islam, pada awalnya adalah agama Timur Tengah. Jadi, kita saja yang
sebenarnya kagetan (terkaget-kaget) dan gumunan (terheran-heran).
Dalam
artikel tersebut, saya buktikan bahwa bukan hanya ungkapan Lâ Ilaha
illa llâh (Tidak ada ilah selain Allah) tersebut memang termaktub
dalam Alkitab bahasa Arab,[2] tetapi juga dalam garis besar memang ada
paralelisasi antara pergulatan pemikiran gereja mengenai keabadian Firman Allah
yang dalam Iman Kristen diterapkan untuk ‘Isa Al-Masih, dengan Ilmu Kalam Islam
yang diterapkan bagi al-Qur’an.
Kembali
ke soal “bahasa teologis” doktrin keesaan Allah dalam Kristen dan Islam tadi,
lebih jauh paralelisasi itu tidak hanya dalam penggunaan bahasa Arab saja,
melainkan juga sama-sama menerima “warisan filsafat Yunani”, yang akhirnya
mengalami proses arabisasi. Dan selanjutnya, warisan filsafat Yunani-Arab
itulah yang dibawa ke Indonesia, seiring dengan perkembangan Islam. Menurut
hemat saya, latarbelakang ini haruslah dipertimbangkan sebagai salah satu pola
berteologi Kristiani yang kontekstual dalam rangka dialog teologis dengan
Islam.[3]
Paralelisasi
tersebut, ternyata tidak sulit dipahami oleh saudara-saudara Muslim,
sebagaimana dikatakan oleh Hasyim Muhammad dalam bukunya, Kristologi
Qur’ani: Telaah Kontekstual Doktrin Kekristenan dalam al-Qur’an, sebagai
berikut :
Pada
wilayah Ilmu Kalam, perdebatan tentang doktrin kekekalan Memra (Firman)
dapat dibandingkan dengan perdebatan tentang keqadiman al-Qur’an, sebagaimana
yang dilakukan oleh Bambang Noorsena, seorang intelektual Kristiani. Ia
menyerupakan pandangan Arius dengan kaum Mu’tazilah dalam aliran kalam, yang
berpendapat bahwa al-Qur’an sebagai firman Allah adalah makhluk dan bersifat
baru.
Sementara
aliran-aliran gereja besar (Kanisah, wâ-hidah, muqadasah, jami’ah wa
rasuliyah) yang meyakini kekekalan memra (Firman) serupa
dengan Asy’ariyah atau paham Ahl al-sunnah wa
al-jama’ah. Asy’ariyah menyatakan bahwa Kalâm Allah adalah qa-dim,
tidak diciptakan (ghair al-makhlûq), justru melalui Kalâm Allah alam
semesta diciptakan. Sebagaimana dalam ayat al-Qur’an:
وَ مِنْ أياتِه أنْ تَقُوم السَمَآء والأَرْض بِأمْرِه ….
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya
adalah tegaknya langit dan bumi dengan (‘amr) perintah-Nya” (Q.s.
ar-Rûm/30:25).
Menurut
al-Asy’ari, yang dimaksud dengan ‘amr adalah “Kalam Allah”.
Sementara hubungan antara sifat dan dzat Allah digambarkan oleh Asy’ari, bahwa sifat-sifat
Allah tidak identik dengan dzât, namun tidak berbeda dengan dzât (Al-Shifât
laysa al-dzât wa lâ hiya ghairuhâ). Konsep ini sebanding dengan yang
dikemukakan dalam al-Kitâb bahwa firman Allah kekal bersama Allah, dan serentak
pula bukan lain dari Allah.
Berkenaan
dengan wujud firman Allah yang diturunkan ke dunia dalam Kristen dikemukakan,
bahwa firman Allah telah turun dari surga dan menjelma oleh Roh Kudus menjadi
manusia dari Perawan Maryam (nazala min al-sama’i watajja-sad birûh al-quds,
wa min Maryam al-Adzrâ’i al-batûli wa sharâ insânan). Sementara, mengenai
turunnya kalâm Allah dalam perspektif Islam, al-Qur’an mengemukakan bahwa telah
diturunkan kepada Muhammad kitâb (al-Qur’an) dengan kebenaran (nazala
‘alaika al-kitâba bi al-haq). Gereja membedakan antara tabi’at kemanusiaan
Yesus yang makhluk dengan tabi’at keilahiannya yang abadi (ghair
al-makhlûq).
Demikian
juga ilmu kalam membedakan antara al-Qur’an sebagai firman Allah yang kekal (kalâm
nafsî) berupa nilai substantif pesan moral ketuhanan dengan al-Qur’an yang
bersifat temporal (kalâm lafdhî) berupa susunan kalimat, suara dan warna
yang menandai cirri fisik al-Qur’an.
Dengan
demikian telah jelas, bahwa dalam iman Kristiani firman Allah identik dengan
Yesus Kristus, bukan al-Kitâb. Sementara dalam Islam firman Allah identik
dengan al-Qur’an, bukan Muhammad. Perbedaan inilah yang sering menimbulkan
kesalahpahaman atau sumber perdebatan di kalangan agamawan dalam
mengkomunikasikan antara doktrin-doktrin keislaman dan kekristen-an.[4]
2. Syema “Tauhid
Yahudi”, dan Pernyataan Allah dalam Kristus
ܐܳܡܰܪ ܠܶܗ ܝܶܫܽܘܥ ܩܰܕ݂ܡܳܝ ܡܶܢ ܟ݁ܽܠܗܽܘܢ ܦ݁ܽܘܩܕ݁ܳܢܶܐ ܫܡܰܥ ܐܺܝܣܪܳܝܶܠ ܡܳܪܝܳܐ ܐܰܠܳܗܰܢ ܡܳܪܝܳܐ ܚܰܕ݂ ܗ݈ܽܘ
Amar leh Yesyu’a, “Qadmai min kulhon phuqddana: Syma’ yisra’el, Marya
elahan Marya had hu”.
Kata Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah hai Israel,
Tuhan, Ilah kita, Tuhan itu Esa” (Mark. 12:29, teks Peshitta).
Ungkapan
Yesus, “Dengarlah, hai Israel, Tuhan Ilah kita, Tuhan itu Esa” (Sym’a
Yisra’el Marya elahan Marya Had hu), adalah terjemahan bahasa Aram/Suryani,
yaitu bahasa sehari-hari Yesus dan para murid-Nya, dari Syema’ atau
Syahadat Yahudi yang aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani sebagai berikut: Syema’
Ysra’el YHWH Eloheinu YHWH Ehad.[5] Dalam
teks-teks kuno bahasa Aram, tetagrammaton atau catur aksara suci YHWH (dibaca:
The LORD, TUHAN), telah diterjemahkan dengan Marya.[6]
Pada
saat yang sama, tradisi liturgis terkuno gereja Yahudi di Yerusalem, telah
menerapkan gelar Mar tersebut (cf. Maranatha, yang
berasal dari: Marana = “Tu(h)an kami”, tha =
“Datanglah!”) itu untuk Yesus, yang mereka percayai sebagai Sang Mesiah yang
dijanjikan Allah.Jadi, dalam Perjanjian Baru dikemukakan dengan tegas relasi
khusus Yesus dengan Allah. Persoalannya, bagaimana hubungan ini
dijelaskan? Umat Kristen perdana percaya bahwa Yesus adalah Sang Mesiah
yang datang dari Allah. Dan sudah barang tentu, keyakinan mengenai Raja Mesiah
itu berakar dari konsep Yahudi.
Dan
sebagaimana dicatat dalam targum-targum, yaitu komentar-komentar Perjanjian
Lama dalam bahasa Aram, sosok Sang Mesiah ini diidentikkan dengan Memra (Firman
Allah), yang oleh-Nya Allah menciptakan alam semesta, dan melalui-Nya pula
Allah mengkomunikasikan Diri-Nya dengan umat ciptaan-Nya. Konsep Memra inilah
yang melatarbelakangi prolog Injil Yohanes mengenai pra-eksistensi Firman Allah
(Yoh. 1:1-3,14), dan bukan konsep logos dalam filsafat
Helenisme, sekali pun teks bahasa Yunani dari Injil tersebut memakai istilah
Logos yang sebelumnya sudah dipakai dalam Septuaginta.
Sementara
itu patut dicatat pula, bahwa baik Taurat, Kitab Nabi-nabi dan Tulisan-tulisan
Suci (Torah, Nevim we Ketuvim) yang oleh orang Kristen disebut
Perjanjian Lama, menekankan bahwa Allah itu Esa, dan bersama dengan itu Dia
berkarya bersama Firman atau Hikmat-Nya, dan Roh Kudus-Nya. Begitu juga
Perjanjian Baru meneruskan saja ungkapan-ungkapan ini, yang disebutnya sebagai
Bapa, dan Putra dan Roh Kudus.
Jadi,
tidak ada yang berubah dan berkembang mengenai konsep Allah, yang dalam
Perjanjian Lama dan tradisi Yahudi pra-Kristen juga sudah digelari Sang Bapa,[7] yang berkarya bersama Firman dan Roh-Nya
tersebut (Kej. 1:1-3). Satu-satunya perkembangan yang mungkin menarik dicatat,
adalah ungkapan Putra Allah yang menunjuk kepada Firman-Nya. Dalam Perjanjian
baru mendapatkan tekanan khusus, yang akhirnya dirumuskan dalam konsep
“kelahiran ilahi Kristus” (Divine Birth of Jesus Christ).
Tetapi
sekali lagi, meskipun Iman Kristen akhirnya menjadikan konsep kelahiran Ilahi
tersebut sebagai “titik pancang” dalam teologinya, tetapi konsep ini juga bukan
hal yang baru sama sekali. Sebab naskah-naskah Qumran sudah mengenal konsep
kelahiran Ilahi Sang Mesiah dari Allah, seperti tercantum dalam QIsa 12,7:
“Allah telah melahirkan Mesiah-Nya” (‘im yolid el eth ha Mashiah).[8] Masih banyak lagi ungkapan-ungkapan lain dalam
targum-targum Aram pra-Kristen yang memuat identifikasi Memra (Sabda
Ilahi) dengan Sang Mesiah yang akan datang.
Nah,
hubungan Keputraan Ilahi Yesus sebagai Firman Allah itu, dalam tulisan-tulisan
patristik, yang antara lain dari murid-murid para rasul sendiri, lalu
direnungkan, didalami dan direfleksikan dalam kehidupan iman gereja pada
zamannya. Permenungan itu, sudah dimulai sejak era kekristenan yang
paling dini, seperti misalnya tampak dari doa kesyahidan Mar Polikarpus,
seorang murid Rasul Yohanes, yang memuji Allah Bapa dan Yesus, Sang Imam
Surgawi yang kekal, serta memuliakan Roh Kudus-Nya. [9]
Begitu juga, Mar Ignatius al-Anthakî (67-100 M), murid
langsung Rasul Petrus dan Patriarkh gereja Antiokia, yang menulis lebih
konseptual:
Sesungguhnya Allah itu Esa, Ia telah menyatakan diri-Nya sendiri melalui Yesus
Kristus Putra-Nya, yaitu Firman-Nya yang keluar dari keheningan kekal (hos
setin auto seges proeltôn).[10]
Dalam suratnya kepada orang-orang Efesus, Mar Ignatius juga menyebut ‘Isa
(Yesus) sebagai “Manunggaling Kawula-Gusti” (en anthropo theos), dan
menyebut kodrat ganda-Nya sebagai:
“….yang menurut daging dan menurut Roh, yang dilahirkan dan yang tidak
dilahirkan, yang keluar dari Maria dan yang keluar dari Allah (kai
sarkikos kai pneumatickos, gennetos kai agennetos, kai ek marias kai ek theos),
yang pertama terpikirkan dan yang kedua tak terpikirkan”.[11]
Begitu juga dalam Surat Barnabas (ditulis tahun 90-120),
pra-eksistensi Yesus sebagai Firman Allah sangat ditekankan. Dalam dokumen yang
sampai sekarang dihormati dalam Gereja Ortodoks Koptik, dan dibacakan dalam
rangkaian tahun liturgis dalam terjemahan bahasa Arab itu, disebutkan sebagai
berikut:
و إن كان ابن الله قد جاء باجسد
“Dan apabila Putra Allah telah datang
sebagai manusia…”
(Risâlah Barnâbâ/Epistle of Barnabas 5,11).
(Risâlah Barnâbâ/Epistle of Barnabas 5,11).
كيف يعلن الاب كل شىء مفصلا عن إبنه
“Bagaimana Sang Bapa telah menyatakan
segala sesuatu melalui Putra-Nya”
(Risâlah Barnâbâ/Epistle of Barnabas 5,11).[12]
(Risâlah Barnâbâ/Epistle of Barnabas 5,11).[12]
Sedangkan
Mar Yustin al-Syahid (100-167) menegaskan bahwa Yesus sebagai Firman Allah
adalah “tidak diciptakan” (ghayr al-makhlûq). “Kami menyembah Allah”,
katanya, “tetapi kami juga mengasihi Firman yang keluar dari Allah, yang tidak
diciptakan dan kebesaran-Nya tidak terhingga”. [13] Demikianlah bapa-bapa rasuli merefleksikan
relasi antara Allah, Firman dan Roh-Nya pada awal sejarah gereja perdana,
hingga munculnya bid’ah Arius yang menyangkal ke-“bukan makhluq”-an Firman
Allah.
Sebagai
reaksi atas pandangan Arius, yang mementaskan paham Logos Neo-Platonis
itulah, konsili Nikea tahun 325 digelar, yang memutuskan ajaran yang diwarisi
gereja dari mula-mula bahwa Firman bukan ciptaan, karena justru “oleh-Nya Allah
telah menciptakan segala sesuatu” (Kej. 1:3, Maz. 33:6; Yoh. 1:3, 1 Kor. 8:6).
Jadi, dengan menegaskan bahwa Firman dan Roh-Nya tidak tercipta, sebenarnya
konsili-konsili ekumenis gereja mula-mula hanyalah menegaskan kekekalan hypostasis-hypostasis ilahi
dalam Allah Yang Esa, dan bukan memperilah sesuatu di luar Dzat-Nya.
Dalam konteks inilah penegasan keilahian Yesus harus
kita pahami, bahwa frase-frase kontra-Arian dalam konsili Nikea, yang berbunyi
sebagai berikut:
“Putra
Allah yang tunggal yang lahir dari Sang Bapa yang sehakekat dengan Dzat Sang
Bapa…” (Ibn allâh al-wahîd al-maulûdu min al-Ab alladzi jauhar al-Ab), …[14]
“dilahirkan,
tidak diciptakan, satu dengan Sang Bapa dalam Dzat-Nya, yang
melalui-Nya segala sesuatu baik di langit dan di bumi telah diciptakan” (maulûdu
ghayr al-makhlûqin, wâhidun ma’a al-Abi fî al-jau- har, alladzi bihi
kâna kullu syai’in mâ fî al-samâ’i wa mâ ‘ala al-ardh).[15]
Semua
penegasan di atas menunjuk kepada Yesus sebagai Firman Allah yang satu dengan
Allah, dan bukan ke-pada kemanusiaan Yesus Kristus, seperti yang sering
disalah-pahami. Untuk lebih jelasnya, setelah menegaskan keilahian Sang Firman,
konsili ekumenis juga mengeluarkan anathema terhadap ajaran Arius:
أما أولئك الذين يقولون: ” أنه كان وقت لم يكن هو كائنا”, “وأنه قبلما يولد لم يكن”, “وأنه من عدم الوجود جاء للوجود”, أو يؤكدون أنه من مادة أوجوهرآخر أومخلوق أو متغير فالكنيسة المقد سة الجامعة الرسولية تعلن أنهم محرومون.
Sedangkan
tentang mereka yang berkata: “Pernah ada waktu dimana Firman belum ada”, atau
“Sebelum dilahirkan, Dia tidak ada”, atau “Firman Allah itu berasal
dari tidak ada kemudiaan menjadi ada” (creatio ex nihilo), dan juga
mereka yang menyangkal bahwa Putra Allah mempunyai zat lain, atau dzat lain
selain dari Allah”, atau “diciptakan”, atau “dapat berubah”, maka Gereja
(Tuhan) yang kudus, jâmi’ah (‘am, universal) dan rasuli, dengan ini
mengharamkan (tahrim) ajaran mereka”.[16]
3. Allah Tidak Beranak dan
Tidak Diperanakkan
Kalau begitu, bagaimana menjelaskan gelar “Putra
Allah” yang sering menjadi kendala dalam dialog teologis dengan Islam? Harus
ditegaskan, bahwa tidak ada umat Kristen yang pernah mempunyai sebersit
pemikiran pun bahwa Allah secara fisik mempunyai anak, seperti keyakinan
primitif orang-orang Mekkah pra-Islam pada saat kelahiran Islam.
Saya ingin menjelaskan metafora ini berdasarkan
teks-teks sumber Kristen Arab, supaya terbangun kesalingpahaman teologis
Kristen-Islam di Indonesia. Sebab selama ini ada jarak yang cukup lebar secara
kultural antara “bahasa teologis” Kristen Barat, yang memang tidak pernah
bersentuhan dengan Islam, sehingga kesalahpahaman terhadap Iman Kristen semakin
meruncing.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, istilah Putra
Allah yang diterapkan bagi Yesus dalam Iman Kristen untuk menekankan
praeksistensi-Nya sebagai Firman Allah yang kekal, seperti disebutkan dalam
Injil Yoh. 1:1-3. Ungkapan “Pada mulanya adalah Firman”, untuk menekankan bahwa
Firman Allah itu tidak berpermulaan, sama abadi dengan Allah karena Firman itu
adalah Allah sendiri, dan bukan wujud selain-Nya.
Selanjutnya,
“Firman itu bersama-sama Allah”, menekankan bahwa Firman itu berbeda dengan
Allah. Allah adalah Esensi Ilahi (Arab: al-dzat, the
essence), yang dikiaskan Sang Bapa, dan Firman menunjuk kepada “Pikiran
Allah dan Sabda-Nya. Akal Ilahi sekaligus Sabda-Nya” (‘aql al-lâh al-nâtiqi,
au nâtiq al-Lah al-‘âqli, fahiya ta’ni al-‘âqlu wa al-nâtiqu ma’an),
demikianlah term-term teologis yang sering dijumpai dalam teks-teks Kristen
berbahasa Arab.
Sedangkan
penegasan “dan Firman itu adalah Allah”, menekankan bahwa Firman itu, sekalipun
dibedakan dari Allah, tetapi tidak berdiri di luar Dzat Allah. Mengapa? “Tentu
saja”, tulis Baba Shenuda III dalam bukunya Lahut al-Masih (Keilahian
Kristus), “Pikiran Allah tidak akan dapat dipisahkan dari Allah (‘an ‘aql
al-lâhi lâ yunfashilu ‘ana-llah)”.[17] Dengan penegasan bahwa Firman itu adalah Allah
sendiri, maka keesaan Allah (tauhid) secara murni kita pertahankan.
Ungkapan
“Firman itu bersama-sama dengan Allah”, tetapi sekaligus “Firman itu adalah
Allah”, bisa dibandingkan dengan kerumitan pergulatan pemikiran Ilmu Kalam
dalam Islam, yang merumuskan hubungan antara Allah dan sifat-sifatnya, yang
tidak sama dengan Dzat Allah tetapi juga tidak berbeda dengan-Nya. Jadi,
kata shifat dalam Ilmu Kalam Islam tidak hanya bermakna
sifat atau karakter dalam bahasa sehari-hari, melainkan mendekati makna hypostasisdalam
bahasa teologis Kristen.
Dalam
sumber-sumber Kristen Arab sebelum dan sesudah zaman al-Asy’ari, hypostasis sering
diterjemahkan baik shifat maupun uqnum, “pribadi”
(jamak: aqânim), asal saja dimaknai secara metafisik seperti maksud
bapa-bapa gereja, bukan dalam makna psikologis. Sedangkan ousiaditerjemahkan dzat,
dan kadang-kadang jauhar.[18] Istilah dzat dan shifat tersebut
dipentaskan-ulang dalam perdebatan kaum Suni dengan kaum Mu’tazilah yang
menyangkal keabadian Kalam Allah (Al-Qur’an), sebagaimana Konsili Nikea tahun
325 M mereaksi ajaran bid’ah Arius, seperti telah dikemukakan di atas. Kembali
ke makna Putra Allah. Melalui Putra-Nya atau Firman-Nya itu Allah menciptakan
segala yang ada di jagat raya: “Segala sesuatu diciptakan oleh Dia, dan tanpa
Dia tidak sesuatupun yang jadi dari segala yang dijadikan” (Yoh. 1:3).
Karena
itu, jelaslah bahwa mempertahankan ke-ilahian Yesus dalam Iman Kristen, tidak
berarti mempertuhankan kemanusiaan-Nya, apalagi dengan rumusan yang jelas-jelas
tidak diarahkan al-Qur’an untuk Iman Kristen sejati: “Sesungguhnya Allah adalah
al-Masih Putra Maryam” (Inna l-lâha huwa al-Masîh bnu Maryam). Q.s.
Al-Maidah/ 5:75.[19] Jelaslah bahwa Iman Kristiani sejati tidak
pernah menyamakan kemanusiaan Yesus dengan Allah.
Apabila
umat Kristiani berusaha keras mempertahankan keilahian Yesus, sesungguhnya yang
kita maksudnya adalah menegaskan keabadian Firman Allah yang selalu berada
dalam Dzat Allah, yang melalui-Nya alam semesta dan segala isinya ini telah
diciptakan. Dan karena sejak kekal Kristus adalah Akal Allah dan Sabda-Nya,
maka jelaslah Firman itu adalah Allah. Karena Sabda atau Pikiran Allah berdiam
dalam Allah sejak kekal (wa madâma al-Masîh huwa ‘aql al-Lâh
al-nâtiqi, idzan fahuwa al-lah, lianna ‘aql al-Lah ka’inu fî llahi mundzu
azali). Dan sudah barang tentu, Firman itu bukan ciptaan (ghayr
al-makhluq), karena setiap ciptaan pernah tidak ada sebelum ia diciptakan),[20] seperti ditegaskan dalam rumusan Qânûn
al-Imân (Syahadat Nikea/ Konstantinopel).
Secara
logis, mustahillah kita membayangkan pernah ada waktu dimana Allah ada
tanpa Firman-Nya, kemudian Allah menciptakan Firman itu untuk Diri-Nya sendiri.
Bagaimana mungkin Allah ada tanpa Pikiran atau Firman-Nya? Kini kita memahami
secara jelas ajaran tentang Allah Yang Mahaesa, yang berdiam sejak kadim sampai
kekal bersama Firman dan Roh Kudus-Nya.[21]Selanjutnya, istilah Putra Allah berarti “Allah
mewahyukan Diri-Nya sendiri melalui Sang Putra atau Firman-Nya” (cf. كيف يعلن الاب كل شىء مفصلا عن إبنه Risâlah Barnâbâ/Surat Barnabas 5:11).
Allah
itu transenden, tidak tampak, tidak terikat ruang dan waktu. “Tidak seorang pun
melihat Allah”, tulis Rasul Yohanes dalam Yoh. 1:18, “tetapi Anak Tunggal Allah
yang ada di pangkuan Bapa Dialah yang menyatakan-Nya”. Inilah makna tajjasad (inkarnasi).
“Dengan inkarnasi Firman-Nya”, kata Anba Shenûda III, “kita melihat Allah.
Tidak seorangpun melihat Allah dalam wujud ilahi-Nya yang kekal, tetapi dengan
nuzulnya Firman Allah, kita melihat pewahyuan diri-Nya dalam daging” (Allahu
lam yarahu ahadun qathu fî lahutihi, wa lakinnahu lamma tajjasad, lamma
thahara bi al-jasad).[22]
Melalui
Firman-Nya Allah dikenal, ibarat seseorang mengenal diri kita setelah kita
menyatakan diri dengan kata-kata kita sendiri. Jadi, sebagaimana kata-kata
seseorang yang keluar dari pikiran seseorang mengungkapkan identitas
diri, begitu Allah menyatakan Diri-Nya melalui Firman-Nya. Inilah maka
ungkapan Qânûn al-Imân (Syahadat Nikea/ Kons-tantinopel tahun
325/381), yang mengatakan bahwa Putra Allah yang Tunggal telah “lahir dari Sang
Bapa sebelum segala zaman” (Arab: al-mauludu min al-Abi qabla kulli
duhur). Adakah di dunia ini seseorang yang dilahirkan dari Bapa? Jawabnya,
tentu saja tidak ada! Setiap orang lahir dari ibu. Karena itu, Yesus disebut
Putra Allah jelas bukan kelahiran fisik, tetapi kelahiran ilahi-Nya
sebagai Firman yang kekal sebelum segala zaman.
Tetapi
bukankah secara manusia Yesus dilahirkan oleh Bunda Maria? Betul, itulah makna
kelahiran-Nya yang kedua dalam daging. Mengenai misteri ini, Bapa-bapa gereja
merumuskan 2 makna kelahiran (wiladah) Kristus itu, yaitu
kelahiran kekal-Nya dari Bapa tanpa seorang ibu (milad azali min Ab bighayr
jasadin qabla kulli duhur), dan serentak dengan itu kelahiran fisik-Nya
dalam keterbatasan zaman dari ibu tanpa seorang bapa (wa milad akhara fî
mal’i al-zamân min umm bi ghayr ab).[23]
“Lahir
dari Bapa tanpa seorang ibu”, menunjuk kepada kelahiran kekal Firman Allah dari
Wujud Allah. “Tanpa seorang ibu”, untuk menekankan bahwa kelahiran itu tidak
terjadi dalam ruang dan waktu yang terbatas, bukan kelahiran jasadi (bighayr
jasadin) melalui seorang ibu, karena memang “Allah tidak beranak dan
tidak diperanakkan”. Jadi, dalam hal ini Iman Kristen bisa sepenuhnya menerima
dalil al-Qur’an: lam yalid wa lam yulad (Allah tidak bernak
dan tidak diperanakkan), karena memang tidak bertabrakan dengan
makna teologis gelar Yesus sebagai Putra Allah atau Firman Allah.
Sebaliknya, “Lahir dari ibu tanpa bapa”, menekankan
bahwa secara manusia Yesus dilahirkan dalam ruang dan waktu yang terbatas.
Meskipun demikian, karena Yesus bukan manusia biasa seperti kita, melainkan
Firman yang menjadi manusia, maka kelahiran fisik-Nya ditandai dengan mukjizat
tanpa perantaraan seorang ayah insani. Kelahiran-Nya yang kedua ke dunia karena
kuasa Roh Allah ini, menyaksikan dan meneguhkan kelahiran kekal-Nya “sebelum
segala abad”. Dan karena Dia dikandung oleh kuasa Roh Kudus, maka Yesus
dilahirkan oleh Sayidatina Maryam al-Adzra’ (Bunda Perawan Maria) tanpa seorang
ayah. Dari deskripsi di atas, jelaslah bahwa ajaran Tritunggal sama sekali
tidak berbicara tentang ilah-ilah selain Allah.
Ajaran rasuli ini justru mengungkapkan misteri keesaan
Allah berkat pewahyuan diri-Nya dalam Kristus, Penyelamat Dunia. Dalam Allah
(Sang Bapa), selalu berdiam secara kekal Firman-Nya (Sang Putra) dan Roh
Kudus-Nya. Kalau Putra Allah berarti Pikiran Allah atau Sabda-Nya, maka Roh
Kudus adalah Roh Allah sendiri, yaitu hidup Allah yang abadi. Bukan
Malaikat Jibril seperti yang sering dituduhkan beberapa orang Muslim selama
ini. Firman Allah dan Roh Allah tersebut bukan berdiri di luar Allah, melainkan
berada dalam Allah dari kekal sampai kekal.
Jadi,
jelaslah bahwa Iman Kristen tidak menganut ajaran sesat yang diserang oleh
al-Qur’an, bahwa Allah itu beranak dan diperanakkan. Untuk memahami Iman
Kristen mengenai Firman Allah yang nuzul (turun) menjadi
manusia ini, umat Islam hendaknya membandingkan dengan turunnya al-Qur’an Kalam
Allah (nuzul al-Qur’an). Kaum Muslim Suni (Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah) juga meyakini keabadian al-Qur’an sebagai kalam al-nafsi (Sabda
Allah yang kekal) yang berdiri pada Dzat-Nya, tetapi serentak juga terikat oleh
ruang dan waktu, yaitu sebagaikalam al-lafdzi (Sabda Tuhan
yang temporal) dalam bentuk mushaf al-Qur’an al-Karim dalam bahasa Arab yang
serba terbatas.
Selanjutnya,
sama seperti tubuh fisik kemanusiaan Yesus yang terikat ruang dan waktu, yang
“dibunuh dalam keadaannya sebagai manusia” (1 Pet. 3:18), begitu juga mushaf
al-Qur’an bisa rusak dan hancur. Tetapi Kalam Allah tidak bisa rusak bersama
rusaknya kertas al-Qur’an tersebut. Demikianlah Iman Kristen memahami
kematian Yesus, bahwa kematian itu tidak berarti kematian Allah, karena Allah
tidak bisa mati. “Dia menderita”, kata Mar Yustin Syahid (menulis tahun 150 M),
“bukan dalam tabiat ilahi-Nya (sebagai Firman Allah) yang dilahirkan dari
Allah, yaitu dari Dzat Sang Bapa”.[24]
Saya kemukakan data-data paralelisasi ini bukan untuk
mencocok-cocokkan dengan Ilmu Kalam Islam. Sebab justru seperti sudah saya
tulis di atas, teolog-teolog Kristen Arab menerjemahkan istilah-istilah
teologis itu dari bahasa Yunani dan Aram/ Suryani ke dalam bahasa Arab, baik
sebelum maupun sesudah munculnya perdebatan ilmu Kalam dalam Islam, dari bahasa
Yunani dan Aram ke dalam bahasa Arab, dan tetap memakai istilah-istilah
teologis tersebut sampai sekarang.
4. The Lordship of Jesus Christ
Neum
Hashem ladonay, Syev li-yaminî.
Artinya: “Firman TUHAN kepada Tu(h)anku: Duduklah di sebelah kananKu” (Mazmur
110:1). Rabbi Yodan ber-kata atas nama Rabbi Ahan Bar Haninan: “Hashem Ha
Qadosh Barukh Hu (TUHAN, Yang Maha Terpuji) akan menempatkan Sang Raja
Mesiah duduk di sebelah kanan-Nya” (Yakut Shimoni Tehilim 110).[25]
Salah
satu “batu sandungan” dalam percakapan teologis Kristen-Islam adalah masalah
Ketu(h)an Yesus. Mengapa seorang Nabi dipertuhan? Padahal sudah
ditegaskan bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Begitu biasanya ungkapan Lâ ilaha
ilallah biasanya diterjemahkan di Indonesia. Konkritnya, dalam bahasa
Indonesia biasanya umat Islam tidak membedakan istilah Arab ilah(Inggris: God)
dan Rabb (Inggris: Lord), keduanya diterjemahkan
“Tuhan”. Malahan pula, pada umumnya dalam bahasa Indonesia lebih dikenal
istilah Ketuhanan untuk kata Inggris “Godhead”, “Divine” (bandingkan:
“Ketuhanan Yang Mahaesa”) ketimbang istilah “Keilahian” (Arab: Lahutiyah).
Penyamarataan
itu sumber salah paham, sebab dalam Kristen cukup dibedakan makna Keilahian dan
Ketuhanan dalam kaitannya dengan perbincangan tentang Keesaan Allah dalam
Kristus. Maksudnya, sebutan “Tuhan Yesus” sama sekali tidak bermaksud mengadakan
ilah selain Allah, atau menyejajarkan kemanusiaan Yesus Kristus dengan Allah.
Yesus disebut Tuhan dalam maknaRabb (Gusti, Penguasa), karena Allah
telah melimpahkan kuasa-Nya di langit dan di bumi (Mat. 28:20; Kis. 2:38; Flp.
2:11).
Seperti
telah disebutkan di atas, kata “Tuhan” sejajar bahasa Ibrani Adonay dan
bahasa Aram Marya. Meskipun dalam bahasa Yunani diterjemahkan Kyrios, tetapi
penerapan gelar Mar, Marya bagi Yesus seperti tampak dari
seruan liturgis tertua Maranatha, membuktikan bahwa ide
ketuhanan Yesus lebih dilatarbelakangi oleh ide Yahudi, ketimbang ide Yunani.
Penerapan gelar Marya (Tuhan) bagi Yesus ini, misalnya,
tertulis dalam Kis. 2:34-36 dalam bahasa Aram (Syriac) yang berbunyi:
34 ܠܐ ܗܘܐ ܓܝܪ ܕܘܝܕ ܤܠܩ ܠܫܡܝܐ ܡܛܠ ܕܗܘ ܐܡܪ ܕܐܡܪ ܡܪܝܐ ܠܡܪܝ ܬܒ ܠܟ ܡܢ ܝܡܝܢܝ
35 ܥܕܡܐ ܕܐܤܝܡ ܒܥܠܕܒܒܝܟ ܟܘܒܫܐ ܠܪܓܠܝܟ
36 ܫܪܝܪܐܝܬ ܗܟܝܠ ܢܕܥ ܟܠܗ ܒܝܬ ܐܝܤܪܝܠ ܕܡܪܝܐ ܘܡܫܝܚܐ ܥܒܕܗ ܐܠܗܐ ܠܗܢܐ ܝܫܘܥ ܕܐܢܬܘܢ ܙܩܦܬܘܢ
35 ܥܕܡܐ ܕܐܤܝܡ ܒܥܠܕܒܒܝܟ ܟܘܒܫܐ ܠܪܓܠܝܟ
36 ܫܪܝܪܐܝܬ ܗܟܝܠ ܢܕܥ ܟܠܗ ܒܝܬ ܐܝܤܪܝܠ ܕܡܪܝܐ ܘܡܫܝܚܐ ܥܒܕܗ ܐܠܗܐ ܠܗܢܐ ܝܫܘܥ ܕܐܢܬܘܢ ܙܩܦܬܘܢ
34Lâ hwâ geir dawid sleq lashmayâ mitol dehu emar: demar
Maryâ le Mari, Ttev lak min yemini.35’Adama desim belduvanik khuvshâ le ragleik. 36Sharirait ha keil neddak kulleh Beit Yisael deMaryâ wa Mashihâ
‘avdeh Alahâ lemanâ Yeshu’a de anton zegaphton.
Artinya: 34Bukan Daud yang telah naik ke surga, sebab dia
sendiri malahan berkata: Firman Tuhan (Marya) kepada Tuanku (Mari),
Duduklah kamu di sebalah kanan-Ku 35sampai Kubuat
musuh-musuhmu di bawah tumpuan kaki-Mu 36Jadi seluruh
keluarga Israel harus mengetahui bahwa Allah telah menjadikan Yesus yang
kamu salibkan itu sebagai Marya/Tuhan danMeshiha/ Kristus
(Kis. 2:34-36, Peshitta).
Mengingat
term-term keagamaan dalam bahasa Indonesia banyak berasal dari bahasa Arab,
cukup relevan kiranya kita simak pemikiran Idries Shah dalam The
Elephant in the Dark.[26]Penulis sufi ini menekankan pentingnya penggunaan
bahasa Arab bersama-sama di lingkungan Kristen dan Islam, untuk terciptanya
saling pengertian. Mencontohkan salah satu kendala dialog teologis
Kristen-Islam, Idries Shah mengutip Geoffray Parrinder, dalam Jesus in
the Qur’an,[27]yang mengingatkan pembaca berbahasa Inggris mengenai
makna Ketuhanan Yesus (The Lordship of Jesus).
Yesus
digelari sebagai Lord sebagai gelar penghormatan. Dalam bahasa
Arab ditemui paralelnyaas-Sayid (Gusti, Pangeran), suatu gelar yang
juga diterapkan bagi Nabi Muhammad (Sayidina Muhammad). Karena itu,
dengan tanpa masalah, M. Kamel Husayn dalam City of Wrong (aslinya
ditulis dalam bahasa Arab: Qaryah dhalimah), yang menelaah
kota suci Yerusalem pada hari Jum’at yang kudus (pada saat penyaliban Kristus)
dari sudut pandang seorang Muslim, dan gelarSayid al-Masih (the
Lord Christ) digunakan secara teratur.[28]
Kendati
pun patut dicatat, kendati penerapan gelar as-Sayid itu
bagi Yesus maupun Muhammad dapat diperbandingkan, tetapi tidak sepenuhnya dapat
disamakan. Maksudnya, alasan teologis di belakang penerapan gelar yang sama
tersebut. Patut diketahui, dalam Alkitab bahasa Arab baik sebutan ar-Rabb dan as-Sayid sama-sama
muncul sebagai terjemahan nama-nama Allah YHWH (Tuhan)
dan Adonay (Tuhan).[29]
Apakah
makna ketuhanan Yesus Kristus? Sebagaimana dikemukakan di atas, Iman Kristiani
membedakan antara makna Keilahian Yesus (the Divine/Godhead of Jesus)
dan Ketuhanan Yesus (the Lordship of Jesus). Keilahian Yesus menunjuk
sosok adikodrati-Nya sebagai Firman Allah “yang kekal bersama-sama Allah” (kâna
hadza qadiman ‘indallah) dan selalu melekat (qai’mah) dalam
Dzat-Nya (Yoh. 1:1-3), sebanding dengan penghayatan teologi Islam mengenai
al-Qur’an sebagai Kalam nafsî (Sabda Allah yang kekal).
Meskipun demikian, keilahian Firman Allah tersebut dalam Iman Kristen tetap
dibedakan dan tidak dicampurkan dengan wujud nuzul Yesus (‘Isa al-Masih)
sebagai Manusia (1 Tim. 2:5; 1 Pet. 3;18).
Untuk
lebih jelasnya, kita dapat melacak latarbelakang teologisnya dari penghayatan
Yudaisme tentang Allah dan Sang Raja Mesiah yang akan datang. Dalam pengharapan
mesianik Yahudi, salah satu gelar Mesiah yang akan datang adalah juga Adonay,
“Tu(h)an”, seperti disebutkan dalam Maz. 110:1 yang berbunyi:
נאם יהוה לדני שׁב לימיני
Neum
YHWH ladonay, Syav le yaminî.
Perlu dicatat
pula, bahwa menghubungkan Maz. 110 dengan Mesiah bukan hanya tradisi Kristen
saja, tetapi sudah diawali lebih dahulu oleh tulisan-tulisan para rabbi sebelum
zaman Kristen, maupun pada masa-masa sesudahnya sampai sekarang. Misalnya,
seperti ungkapan Rabbi Yodan yang mengajar atas nama Rabbi Ahan Bar Haninan,
bahwa TUHAN sendiri yang memanggil Raja Mesiah sebagai Adonay (Tuhan,
Tuanku) dan akan menempatkan Mesiah itu di sebelah kanan-Nya. Tafsiran Yahudi
ini, selain dijumpai dalam Yalkut Shimoni (Tehilim 110),
tercatat juga dalam Nedarim 32b dan Sanhedrin 108b.[31]
Pemahaman
Yahudi inilah yang melatarbelakangi khutbah Petrus dalam Kis. 2:36 yang kita
kutip di atas, bahwa Allah sendirilah yang telah menjadikan Yesus sebagai
Tu(h)an dan Kristus. Sekali lagi, Tuhan di sini bukan dalam makna ilah selain
Allah, melainkan sebagai rabb (Penguasa) sesuai dengan
pengharapan Yahudi di atas. Bagaimanakah makna lebih lanjut gelar Adonay(Tuhan)
bagi Raja Mesiah di kalangan Kristen awal? Sebagaimana telah disinggung di
atas, tradisi Yahudi (yang juga diikuti Yesus dan para Rasul-Nya) tidak mengeja
Nama Diri (Ismu al-Dzat, “proper name”) Allah dalam bahasa Ibrani: YHWH (bacaan
akademis yang diusulkan:Yahwe). Sebagai gantinya, namun tetap membiarkan
empat huruf suci itu dalam Taurat, tetapi mereka membacanya ha-Syem (Sang
Nama) atau Adonay (Yunani: Kyrios; Aram: Marya; Arab:Rabb atau
Inggris: Lord). Pada akhirnya, Allah sendiri memberikan gelar itu
kepada Yesus Sang Mesiah, Firman-Nya sendiri yang nuzul (turun)
ke dunia. Karena itu Yesus bersabda: “Segala kuasa di surga maupun di bumi
telah dilimpahkan kepadaKu” (Mat. 28:20).
Makna
pelimpahan kekuasaan dalam Mat. 28:20 ini, sekalipun tidak persis sama,
kira-kira sejajar dengan ungkapan al-Qur’an, s. Ali Imran/3:45 mengenai
Yesus: Al-Masîh ‘Isa bnu Maryama wajihan fî al-dunya wa
al-akhirah (Al-Masih ‘Isa putra Maryam yang terkemuka di dunia dan di
akhirat). Nah, penerapan gelar Adonay bagi Sang Mesiah dalam
Iman Kristen berarti melalui Mesiah-Nya Allah menyatakan ke-Tuhanan-Nya. Dalam
makna ini, Yesus bi-idzinillah (dengan izin Allah) bergelar
“Tuhan (Rabb) dan Kristus (al-Masih (Kis. 2:36), dan “Yesus
Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah, Bapa” (Flp. 2:11).
Selanjutnya,
gelar yang menurut harapan mesianik Yahudi akan diterapkan bagi Sang Raja
Mesiah ini, juga berhubungan erat dengan ungkapan “duduk di sebelah kanan
Allah”. Mengapa? Ungkapan simbolik ini muncul dalam kaitan dengan pola bangunan
Bait Suci (Ibrani: Beyt hammiqdash, Arab: ”Bayt al-Maqdis)
dimana istana raja-raja keturunan Daud berada di sebelah selatan Ruang
Mahakudus (devir) Bait Allah yang menghadap ke timur. Ini berarti istana
Daud ber-ada “di sebelah kanan” ruang mahakudus yang
melambang-kan kehadiran (shekinah) Allah. Jadi, maksud firman dalam
Maz. 110:1 שׁב לימיני Syev li-yamini (Duduklah
di sebelah Kanan-Ku), bahwa TUHAN telah memberikan kekuasaan-Nya kepada Raja Mesiah
kekal selama-lamanya.
5. Makna Ganda Tu(h)an: Keterbatasan
Bahasa
Tinggal
masalah terakhir adalah soal salahfahaman dalam bahasa, karena bahasa Indonesia
tidak mengenal satu kata bermakna ganda, sebagaimana istilah Adonay,
Marya, Kyrios, Rabb, Lord atau Gusti. Karena itu, dalam
penulisan-penulisan makalah saya di beberapa forum Islam saya me-naruh 2 tanda
kurung diantara aksara (h) pada kata Tuhan. Karena
penulisan ini saya sering disalahfahami, seolah-olah saya meragu-ragukan
Ketuhanan Yesus. Padahal sama sekali bukan itu maksud saya, dan untuk itu perlu
saya menjelaskan di sini.
Sebagaimana
sudah saya singgung di muka, kata Tuhan dalam bahasa Indonesia pada umumnya
lebih paralel dengan God, Ilah, Deus, Theos. Nah, seorang
non-Kristen tidak mungkin bisa memahami ungkapan dalam bahasa Indonesia bahwa
Tuhan telah mati, karena latarbelakang tersebut di atas. Padahal, seorang bisa
menerapkan hal itu pada bahasa-bahasa lain yang paralel: Adonay, Marya,
Lord atau Gusti, yang bisa bermakna Tu(h)an, maksudnya
baik Tuan maupun Tuhan. Ungkapan “Tuhan sudah mati”, bagi pemakai bahasa
Indonesia pada umumnya sama saja maknanya bila orang Kristen berkata “Allah
sudah mati”. Nah, padahal kematian Yesus itu sama sekali tidak menyentuh
keilahianNya sebagai Firman Allah. Rasul Petrus menyaksikan dengan jelas bahwa
Yesus “telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia” (1 Pet. 3:18).
Padahal
dalam diri Kristus, sekalipun telah dipersatukan kodrat ilahi dan kodrat insani
sekaligus menjadi “satu pribadi” (rumus Kalsedonia) atau “satu kodrat ganda”
(rumus non-Kalsedonia), dimana antara Firman Allah dan kemanusiaan-Nya “tidak
berbaur dan tidak berubah”. Jadi, kematian tubuh yang dikenakan oleh Firman
Allah tidak menyentuh sama sekali keilahian-Nya yang kekal. Meskipun demikian,
Allah yang kita sembah bukan ilah yang bersifat impalbilitas,seperti
dewa-dewa Yunani yang diam, dingin dan apatis (tanpa rasa).
Sebab itu sebaliknya, antara kemanusiaan dan ke-ilahianNya sebagai Firman Allah
juga “tidak terbagi dan tidak terpisah”. Maksudnya, sekalipun Firman Allah sama
sekali tidak merasakan atau dapat disentuh maut, tetapi dengan kematian tubuh
insani Yesus itu Allah turut “berbela-rasa” umat-Nya.
Hal itu
bisa dibaratkan bendera kerajaan adalah kebanggaan seorang raja, ketika bendera
itu diinjak-injak pasukan musuh, hati raja itu terasa tercabik-cabik, meskipun
tubuh raja itu sama sekali tidak terluka.[32] Jadi, sekalipun Allah tidak dapat mati, tetapi
dalam kasih-Nya “turut merasakan” kematian Yesus Putra-Nya. “Kuduslah Engkau,
Ya Yang Tidak dapat mati” (Quddûsu anta, yâ ghayr al-mâti), demikian
kidung Trisagion bahasa Arab yang dinyanyikan di Gereja Ortodoks
Syria, “yang telah disalibkan bagi kami, kasihanilah kami! (Yâ man shulibta
‘anairhamnâ).[33] Dengan demikian, Firman Allah yang satu
dengan Allah (Yoh. 1:1), yang tidak berkematian, satu dengan wujud
inkarnasi-Nya sebagai manusia, yang dapat menderita dan mati. Kesatuan itu unik
sedemikian rupa, tanpa berbaur tanpa berubah, dan tanpa terbagi, tanpa
terpisah. ¶
Daftar Kepustakaan
‘Abd al-Lâh, Mâhir Yûnân. Al-Thawâ’if
al-Masîhiyyat fî Mishra wa al-‘âlam (Al-Qâhirah: al-Nâsyir Mâhir Yûnân
‘Abdu llâh, 2001).
Aland, Nestle. (ed.), Novum Testamentum Graece (Stuttgart: Deutsche Bibelstiftung, 1981), hlm. 131.
Al-Kitâb al-Muqaddas. Ay Kutub al-‘Ahd al-Qadîm wa al-‘Ahd al-Jadîd (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Muqaddas fî asy Syarq al-Ausath, 1993).
Donin, Rabbi Hayim Halevy. To Be A Jew: A Guide to Jewish Contemporary Life (Jerusalem: Basic Book, 1996).
Fisch, Harold (ed.), Torah Nevi’m Ketuv’im – The Jerusalem Bible (Jerusalem: Koren Publishers Jerusalem Ltd., 1992).
Gaudeul, Jean-Marie. Encounter and Clashes: Islam and Christianity in History. Vol. 2, Texts. Rome: Pontificio Institutio di Arabi et Islamici/PISAI, 1984).
Ibrâhîm, Gregorius Yuhanna (ed), Shalûli-Ajlinâ: Khidmat al-Quddas wa Shalawat Syatta(Halab/Allepo: Dâr al- Raha lil Nasyir, 1993).
Jansen, J.J.G. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern. Alih Bahasa: Hairussalaim dan Syarif Hidayatullah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997).
Jibrân, Jibrân Khalîl. An-Nabî (Cairo: Dâr asy Syarûq, 2004).
Lighfoot , J.B. – J.R. Hermer, J.R. (ed.), The Apostolic Fathers. Greek texts with Introduction and English Translations (Michigan: Baker Book House, 1984).
Malathî, Tadrus Ya’qub. Al-Qidîs Ignâthius al-Anthâkî (Cairo: Markaz al-Delta li al-Nasyr, 2003).
Mingana, A. The Apology of Timothy The Patriarch before The Caliph Mahdi. With Introduction by Rendel Harris, Woodbrooke Studies 2, Cambrige, 1923.
Muhammad, Hasyim. Kristologi Qur’ani: Telaah Kontekstual Doktrin Kekristenan dalam al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
Nasr, Seyyed Husein. Ideals and Realities of Islam (Cairo: American University of Cairo, 1989).
Noorsena, Bambang. Telaah Kritis Injil Barnabas (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1990).
Parrinder, Geoffray. Jesus in The Qur’an (New York: Oxford University Press, 1977).
O’disho, Mar. The Book of Marganitha: The Pearl on the Truth of Christianity. Translated from the Aramaic Original by Mar Eshai Shimun XXVI (Chicago: Committee of the Assyrian Chuch of the East, 1988).
Old Syriac Gospels, dalam www.suduva.com
Qyama hadatsa – Ha Brit ha Hadasyah: The New Covenant Aramaic Peshitta Text with Hebrew Translation (Jerusalem: The Bible Society in Israel and the Aramaic Scriptures Research Society in Israel, 1986).
Robert, Alexander – Donaldson, James (ed.), The Writings of the Father Down to AD. 325: Ante-Nicene Fathers. Vol. I (Peabody, Massachusetts: Hedrickson Publishers, 1995).
Santala, Risto. Al-Masîh fî al-‘Ahd al-Qadîm (Cairo: Key Media, 2003).
Schumann, Olaf. Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 1992).
Shah, Idries. Meraba Gajah dalam Gelap: Sebuah Upaya Dialog Kristen Islam. Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1986).
Shenuda III, Anba. Lâhût al-Masîh (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2004).
___________ , Qânûn al-Imân (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003.
______________, Al-Agabiya: Al-Sab’u ash-Shalawât al-Nahâri- yyah wa al-Lailiyyah (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), hlm. 78-80.
Swanson, Mark N. Folly to the Hunafa’: The Cross of Christ in Arabic Christian-Muslim Controversy in Eighth and Ninth Centuries AD. Rome: PISAI, 1995).
Timotius I, Mar. Dafâ’iyyâtu Masîhiyyati fî al-‘Ashar al- ‘Abâsî al-Awwal (Villach, Austria: Light of Life, tanpa tahun).
Yuqarin, Maurice. Târîkh al-Kanîsah: Juz I – Al-Majâmi’ al-Maskûniyyat al-Awwal wa al-Ghazawat al-Kubra (Ma’adi, Cairo: Mansyûrat al-Ma’had, 1966). ¶
Aland, Nestle. (ed.), Novum Testamentum Graece (Stuttgart: Deutsche Bibelstiftung, 1981), hlm. 131.
Al-Kitâb al-Muqaddas. Ay Kutub al-‘Ahd al-Qadîm wa al-‘Ahd al-Jadîd (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Muqaddas fî asy Syarq al-Ausath, 1993).
Donin, Rabbi Hayim Halevy. To Be A Jew: A Guide to Jewish Contemporary Life (Jerusalem: Basic Book, 1996).
Fisch, Harold (ed.), Torah Nevi’m Ketuv’im – The Jerusalem Bible (Jerusalem: Koren Publishers Jerusalem Ltd., 1992).
Gaudeul, Jean-Marie. Encounter and Clashes: Islam and Christianity in History. Vol. 2, Texts. Rome: Pontificio Institutio di Arabi et Islamici/PISAI, 1984).
Ibrâhîm, Gregorius Yuhanna (ed), Shalûli-Ajlinâ: Khidmat al-Quddas wa Shalawat Syatta(Halab/Allepo: Dâr al- Raha lil Nasyir, 1993).
Jansen, J.J.G. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern. Alih Bahasa: Hairussalaim dan Syarif Hidayatullah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997).
Jibrân, Jibrân Khalîl. An-Nabî (Cairo: Dâr asy Syarûq, 2004).
Lighfoot , J.B. – J.R. Hermer, J.R. (ed.), The Apostolic Fathers. Greek texts with Introduction and English Translations (Michigan: Baker Book House, 1984).
Malathî, Tadrus Ya’qub. Al-Qidîs Ignâthius al-Anthâkî (Cairo: Markaz al-Delta li al-Nasyr, 2003).
Mingana, A. The Apology of Timothy The Patriarch before The Caliph Mahdi. With Introduction by Rendel Harris, Woodbrooke Studies 2, Cambrige, 1923.
Muhammad, Hasyim. Kristologi Qur’ani: Telaah Kontekstual Doktrin Kekristenan dalam al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
Nasr, Seyyed Husein. Ideals and Realities of Islam (Cairo: American University of Cairo, 1989).
Noorsena, Bambang. Telaah Kritis Injil Barnabas (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1990).
Parrinder, Geoffray. Jesus in The Qur’an (New York: Oxford University Press, 1977).
O’disho, Mar. The Book of Marganitha: The Pearl on the Truth of Christianity. Translated from the Aramaic Original by Mar Eshai Shimun XXVI (Chicago: Committee of the Assyrian Chuch of the East, 1988).
Old Syriac Gospels, dalam www.suduva.com
Qyama hadatsa – Ha Brit ha Hadasyah: The New Covenant Aramaic Peshitta Text with Hebrew Translation (Jerusalem: The Bible Society in Israel and the Aramaic Scriptures Research Society in Israel, 1986).
Robert, Alexander – Donaldson, James (ed.), The Writings of the Father Down to AD. 325: Ante-Nicene Fathers. Vol. I (Peabody, Massachusetts: Hedrickson Publishers, 1995).
Santala, Risto. Al-Masîh fî al-‘Ahd al-Qadîm (Cairo: Key Media, 2003).
Schumann, Olaf. Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 1992).
Shah, Idries. Meraba Gajah dalam Gelap: Sebuah Upaya Dialog Kristen Islam. Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1986).
Shenuda III, Anba. Lâhût al-Masîh (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2004).
___________ , Qânûn al-Imân (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003.
______________, Al-Agabiya: Al-Sab’u ash-Shalawât al-Nahâri- yyah wa al-Lailiyyah (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), hlm. 78-80.
Swanson, Mark N. Folly to the Hunafa’: The Cross of Christ in Arabic Christian-Muslim Controversy in Eighth and Ninth Centuries AD. Rome: PISAI, 1995).
Timotius I, Mar. Dafâ’iyyâtu Masîhiyyati fî al-‘Ashar al- ‘Abâsî al-Awwal (Villach, Austria: Light of Life, tanpa tahun).
Yuqarin, Maurice. Târîkh al-Kanîsah: Juz I – Al-Majâmi’ al-Maskûniyyat al-Awwal wa al-Ghazawat al-Kubra (Ma’adi, Cairo: Mansyûrat al-Ma’had, 1966). ¶
Lampiran
1:
قنون الامان المقدس
“نؤمن بإله واحد, آب ضابط الكل, خالق جميع الأثياء المنظورة وغير المنظورة, وبرب
واحد يسوع المسيح ابن الله الواحد المولود من الآب, أى من جوهر الآب, إله من إله,
نورمن نور, إله حق من إله حق, مولود, غير مخلوق, مساو للآب فى الجوهر, به
كان كل شىء, ما فى السماء وما على الأرض, الذى من أجانا, نحن البشر ومن أجل خلاصنا
نزل, وتجسد, وصار إنسانا, وتألم, وقام فى اليوم الثالث , وصعد إلى
السماوات وسوف يأتى ليدين الأحياء والأموات وبالروح القدسز”
« إن الذين يقولون: “كان وقت لم يكون فيه”, و ”
قبل أن يولد لم يكن”, و “قد خلق من العدم” أو يجاهرون بأن ابن الله هو من ذات
أخرى, أو من جوهر آخر, أو أنه مخلوق أو قابل للتغير والفساد , فإن الكنيسة
الكاثوليكية الرسولية تحرمهم ».
Artinya:
“Kami percaya kepada satu-satunya Ilah (Allah), Sang Bapa, Pencipta segala
sesuatu, segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Dan kepada
satu-satunya Tuhan (Rabb), Yesus Kristus, Putra Allah yang
Tunggal, yang dilahirkan dari Bapa, yaitu dari Dzat Sang Bapa, Allah dari
Allah, Terang dari Terang, Allah sejati dari Allah sejati, dilahirkan dan bukan
diciptakan, yang sehakikat dengan Sang Bapa dalam Dzat-Nya, yang oleh-Nya
segala sesuatu diciptakan, segala yang ada di langit dan yang di atas
bumi, yang demi kita Manusia, dan demi keselamatan kita, telah
nuzul (turun) dan menjelma, dan menjadi manusia, yang menderita, dan
bangkit pada hari ketiga, dan naik ke surga, dan akan datang kembali untuk
menghakimi orang hidup dan orang mati, dan kami percaya kepada Roh Kudus.
Sedangkan
tentang mereka yang berkata: “Pernah ada waktu dimana Firman belum ada”, atau
“Sebelum Dia dilahirkan, Ia tidak ada”, atau “Firman Allah itu berasal dari
tidak ada kemudiaan menjadi ada” (creatio ex nihilo), dan juga mereka
yang menyangkal bahwa Putra Allah mempunyai zat lain, atau dzat lain selain
dari Allah”, atau “diciptakan”, atau “dapat berubah”, maka Gereja yang kudus,
universal dan rasuli, mengharamkan (tahrim) ajaran mereka”. ¶
Lampiran 2:
قنون الامان المقدس
Qânûn
al-Îmân
نؤمن
بإله واحد الله الآب
ضابط الكل, خالق
السماء
و الأرض,
كل ما يرى و ما لا يرى.
و
برب واحد يسوع المسيح ابن الله الوحيد, المولود من الآب
قبل كل الدهور, نور من نور, اله حق من اله حق, مولود غير
مخلوق, مساو للآب فى الجوهر, الذي به كان كل شيء.
هدا الذي من أجلنا نحن البشر, و من أجل خلاصنا, نزل
من السماء. و تجسد بقوة الروح القدس, من مريم العذراء
وتأنس, وصلب عنا على عهد بيلاطس البنطي,
تألم ومات وقبر, وقام من الأموات في اليوم الثالث كما في
الكتب, وصعد إلى السموات, وجلس عن يمن الآب,
وأيضا سيأتي في مجده ليدين الأحياء والأموات, الذي لا فناء
لملكه انقضاء.
بالروح
القدس, الرب المحيي, المنبثق من الآب, تسجد لهو نمجده مع الآب والابن,
الناطق بالأنبياء. وبكنيسة واحدة مقدسة جامعة رسلية. ونعترف بمعمودية واحدة لمغفزة
الخطايا, و ننتظر قيامة الأموات, وحياة الدهر الآتي. آمين.
Artinya: “Kami percaya kepada satu-satunya Allah,
Allah Sang Bapa Yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi, segala sesuatu yang
kelihatan dan yang tidak kelihatan.
Dan
kepada satu-satu Tuhan (Rabb), Yesus Kristus Putra Allah yang Tunggal,
yang dilahirkan dari Sang Bapa sebelum segala abad, Terang dari Terang, Allah
sejati dari Allah Sejati, dilahirkan dan bukan diciptakan, yang sehakikat
dengan Allah dalam Dzat-Nya yang Esa, yang oleh-Nya segala sesuatu diciptakan.
Untuk kita manusia dan demi keselamatan kita, telah nuzul dari surga, dan
menjelma dengan kuasa Sang Roh Kudus dan dari Perawan Maryam, dan telah menjadi
manusia. Yang disalibkan demi kita pada masa pemerintahan Pontius Pilatus, menderita,
wafat dan dikuburkan. Dan yang telah bangkit kembali pada hari ketiga, sesuai
dengan kesaksian Kitab-kitab Allah, naik ke surga, dan duduk di sebelah kanan
Sang Bapa, dan yang akan datang kembali dari sana dalam kemuliaan untuk
menghakimi orang yang hidup dan yang mati, yang kerajaan-Nya tidak akan
berkesudahan.
Kami
percaya kepada Sang Roh Kudus, yang menjadi Tuhan Pemberi Hidup, yang keluar
dari Sang Bapa, dan yang bersama dengan Sang Bapa dan Sang Putra disembah dan
dimuliakan, dan yang memberi wahyu kepada nabi-nabi. Kami percaya kepada gereja
yang satu, universal, dan Rasuli. Kami mengakui satu baptisan untuk pengampunan
segala dosa, dan juga menantikan kebangkitan orang-orang mati, dan kehidupan
baru di alam yang akan datang, Amin. ¶
[1]S. ‘Akâsyah,
“Muqadimah” pada buku Jibrân Khalîl Jibrân, An-Nabî (Cairo:
Dâr asy Syarûq, 2004), hlm. 65.
[2]Cf. Risâlatu
al-Qidîs Bûlus al-Awwal ila Ahli Kûrinthus 8:4-6/1 Kor. 8:4-6 dalam bahasa
Arab berbunyi:
و أنْ لا
إلهَ إلاَّ اللهُ الأحدُ . و إذا كان في السَّماءِ أو في الأرضِ ما يَزعمُ النَّاس
أنّهم آلهةٌ, بل هناك كثير منْ هذِهِ الآلهةِ و الأربابِ, فلنا نحنُ إلهٌ
واحدٌ و هو الآبُ الذي منه كلُّ شيءٍ و إليهِ نَرْجِعُ, و ربٌّ واحدٌ
وَهُوَ يَسُوعُ المسيحُ الذي بِهِ كلُّ شيءٍ وبه نح
Wa ‘an
lâ ilaha illa al-Lâh al-ahad. Wa idza kâna fî as-samâ’i au fî al-ardhi
mâ yaz’amu al-nnâsi annahum alihatun, bal hunâka katsirun min hadzihi
al-alihati wa al-arbâbi. Falanâ nahnu ilahun wâhidun wa huwa
al-Abu alladzi minhu kullu syai’in wa ilaihi narji’u, wa rabbun wâhidun
wahuwa Yasu’ al-Masîh alladzi bihi kullu syai’in wa bihi nahyâ.
Artinya:
“Dan tidak ada ilah selain Allah yang esa. Dan sungguhpun ada yang disebut oleh
manusia ilah-ilah di langit dan di bumi, dan memang disana ada
banyak ilah-ilah dan tuhan-tuhan, namun bagi kita hanya ada
satu Ilah (sembahan) yaitu Sang Bapa, yang daripada-Nya
berasal segala sesuatu dan kepada-Nya pula kita kembali, dan hanya ada
satu Rabb (Tuhan, Penguasa) yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya
telah diciptakan segala sesuatu, dan yang karena Dia kita hidup”. Al-Kitâb
al-Muqaddas. Ay Kutub al-‘Ahd al-Qadîm wa al-‘Ahd al-Jadîd (Beirut:
Dâr al-Kitâb al-Muqa-ddas fî asy Syarq al-Ausath, 1993).
[3]Lihat
juga: J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern. Alih
Bahasa: Hairussalaim dan Syarif Hidayatullah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana,
1997), hlm. 2-3.
[4]Hasyim Muhammad, M.Ag. Kristologi Qur’ani: Telaah Kontekstual Doktrin Kekristenan dalam al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 179-181. Mengenai perbandingan ‘Isa dengan Al-Qur’an sebagai Fir-man Allah, Seyyed H. Nasr, seorang pemikir Muslim yang terkenal dari Iran menulis:
“The Word of God in Islam is the Qur’an, in Christianity it is Christ. The vehicle of the divine message in Christianity is the Virgin Mary, in Islam is the soul of the Prophet. The Prophet must be unlettered for the same reason that the Virgin Mary must be virgin. The human vehicle of the divine message must be pure and untained. The Divine Word can only be written on the pure and “untouched” tablet of human receptivity. If this Word is the form of flesh the purity is symblolized by the virginity of the mother who gives birth to the word, and if it is in the form of a book this purity is symbolized by the unlettered nature of the person who is chosen to announce this word among men”. Seyyed Husein Nasr, Ideals and Realities of Islam (Cairo: American University of Cairo, 1989), hlm. 43-44.
[5]Lih. Qyama hadatsa – Ha Brit ha Hadasyah: The New Covenant Aramaic Peshitta Text with Hebrew Translation (Jerusalem: The Bible Society in Israel and the Aramaic Scriptures Research Society in Israel, 1986).
[6]Sejak Perjanjian Lama diterjemahkan dalam bahasa Aram, tetagramaton YHWH sudah diterjemahkan Marya. Begitu juga, teks-teks Syriac/Suryani Perjanjian Baru yang lebih tua dari Peshitta (Old Syriac Gospels), menerjemahkan Mark. 12:29 tidak berbeda: ܥܢܐ ܝܫܘܥ ܘܐܡܪ ܩܕܡܝܡܢ ܟܘܠܗܘܢ ܫܡܥ ܐܝܣܪܝܠ ܡܪܝܐ ܐܠܗܢ ܚܕ ܗܘ cf. “Old Syriac Bible”, dalam www.suduva.com Perjanjian Baru dalam teks asli bahasa Yunani juga menerjemahkan “nama yang pantang terucapkan” itu menjadi Kurios (Tuhan). Jadi, seluruh tradisi gereja awal tidak pernah mempertahankan nama ilahi itu secara harfiah dalam bahasa Ibrani. Kutipan Ul. 6:4 dalam teks asli Mrk. 12:29 berbunyi: Akoue Israel Kurios ho Theos hemon, Kurios eis estin. Lih. Nestle-Aland (ed.), Novum Testamentum Graece (Stuttgart: Deutsche Bibelstiftung, 1981), hlm. 131.
[7]Yes. 64:8. Liturgi Yahudi juga mengenal doa yang menyeru Allah sebagai: Avinu Syeba syemayim (Bapa Kami yang di surga). Rabbi Hayim Halevy Donin, To Be A Jew: A Guide to Jewish Contemporary Life (Jerusalem: Basic Book, 1996).
[8]Risto Santala, Al-Masîh fî al-‘Ahd al-Qadîm (Cairo: Key Media, 2003), hlm. 59.
[9]“Epistle of St. Policarp”, dalam J.B. Lighfoot – J.R. Hermer (ed.), The Apostolic Fathers.Greek texts with Introduction and English Translations (Michigan: Baker Book House, 1984), hlm. 195
[4]Hasyim Muhammad, M.Ag. Kristologi Qur’ani: Telaah Kontekstual Doktrin Kekristenan dalam al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 179-181. Mengenai perbandingan ‘Isa dengan Al-Qur’an sebagai Fir-man Allah, Seyyed H. Nasr, seorang pemikir Muslim yang terkenal dari Iran menulis:
“The Word of God in Islam is the Qur’an, in Christianity it is Christ. The vehicle of the divine message in Christianity is the Virgin Mary, in Islam is the soul of the Prophet. The Prophet must be unlettered for the same reason that the Virgin Mary must be virgin. The human vehicle of the divine message must be pure and untained. The Divine Word can only be written on the pure and “untouched” tablet of human receptivity. If this Word is the form of flesh the purity is symblolized by the virginity of the mother who gives birth to the word, and if it is in the form of a book this purity is symbolized by the unlettered nature of the person who is chosen to announce this word among men”. Seyyed Husein Nasr, Ideals and Realities of Islam (Cairo: American University of Cairo, 1989), hlm. 43-44.
[5]Lih. Qyama hadatsa – Ha Brit ha Hadasyah: The New Covenant Aramaic Peshitta Text with Hebrew Translation (Jerusalem: The Bible Society in Israel and the Aramaic Scriptures Research Society in Israel, 1986).
[6]Sejak Perjanjian Lama diterjemahkan dalam bahasa Aram, tetagramaton YHWH sudah diterjemahkan Marya. Begitu juga, teks-teks Syriac/Suryani Perjanjian Baru yang lebih tua dari Peshitta (Old Syriac Gospels), menerjemahkan Mark. 12:29 tidak berbeda: ܥܢܐ ܝܫܘܥ ܘܐܡܪ ܩܕܡܝܡܢ ܟܘܠܗܘܢ ܫܡܥ ܐܝܣܪܝܠ ܡܪܝܐ ܐܠܗܢ ܚܕ ܗܘ cf. “Old Syriac Bible”, dalam www.suduva.com Perjanjian Baru dalam teks asli bahasa Yunani juga menerjemahkan “nama yang pantang terucapkan” itu menjadi Kurios (Tuhan). Jadi, seluruh tradisi gereja awal tidak pernah mempertahankan nama ilahi itu secara harfiah dalam bahasa Ibrani. Kutipan Ul. 6:4 dalam teks asli Mrk. 12:29 berbunyi: Akoue Israel Kurios ho Theos hemon, Kurios eis estin. Lih. Nestle-Aland (ed.), Novum Testamentum Graece (Stuttgart: Deutsche Bibelstiftung, 1981), hlm. 131.
[7]Yes. 64:8. Liturgi Yahudi juga mengenal doa yang menyeru Allah sebagai: Avinu Syeba syemayim (Bapa Kami yang di surga). Rabbi Hayim Halevy Donin, To Be A Jew: A Guide to Jewish Contemporary Life (Jerusalem: Basic Book, 1996).
[8]Risto Santala, Al-Masîh fî al-‘Ahd al-Qadîm (Cairo: Key Media, 2003), hlm. 59.
[9]“Epistle of St. Policarp”, dalam J.B. Lighfoot – J.R. Hermer (ed.), The Apostolic Fathers.Greek texts with Introduction and English Translations (Michigan: Baker Book House, 1984), hlm. 195
[10]“The
Epistle of St. Ignatius to Magnesians (VIII)”, dalam J.B. Lighfoot – J.R.
Harmer (ed.),Op. Cit., hlm. 114.
[11]“The Epistle of St. Ignatius to Ephesians (VII)”, dalam Ibid, p. 107. cf. Tadros Ya’qub Malathî, Al-Qidîs Ignâthius al-Anthâkî (Cairo: Markaz al-Delta li al-Nasyr, 2003), hlm. 13.
[12]Dokumen
yang disebut Risâlah Barnâbâ ini sangat dihormati di
gereja-gereja kuno, bersama dengan dokumen-dokumen post-rasuli yang lain,
seperti misalnya: Gembala Hermas, Didache, surat-surat Ignatius, Ke-syahidan
Polikarpus, dan sebagainya. Risâlah Barnâbâ/Epistle of Barnabas (ditulis
90-120) dan Qishah Barnâbâ/Acts of Barnabas (dari abad ke-5 M)
harus dibedakan dengan dokumen palsu berbahasa Itali dan Spanyol dari abad
ke-16 M yang berjudul Injîl Barnâbâ/The Gospel of Barnabas. Lihat
pembahasan dokumen ini dalam buku saya: Bambang Noorsena, Telaah Kritis
Injil Barnabas (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1990).
[13]Alexander Robert – James Donaldson (ed.), The
Writings of the Father Down to AD. 325: Ante-Nicene Fathers. Vol.
I (Peabody, Massachu-setts: Hedrickson Publishers, 1995). hlm. 193-194.
[14]Mâhir
Yûnân ‘Abd al-Lâh, Al-Thawâ’if al-Masîhiyyat fî Mishra wa
al-‘âlam (Al-Qâhirah: al-Nâsyir Mâhir Yûnân ‘Abdu llâh, 2001), hlm.
35-36.
[15]Ibid.
[16]Ibid.
[17]Anba Shenuda III, Lâhût al-Masîh (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2004), hlm. 8-9.
[18]Ungkapan jauhar sebagai terjemahan kata Yunani ousia disebut dalam karya apologet Kristen Theodore Abû Qurrah (awal abad ke-8 M), penerus Yuhanna Mansyur al-Dimasyqî, yang hidup pada permulaan dinasti ‘Ummayyah, antara lain berbunyi: Wa nahnu naqûlu inna l-ibna al-azalî al-maulûdu min al-Lâhi qabla kulli al-duhûr alladzî huwa min jauhari l-Lâh. “Dan kami berkata bahwa sesungguhnya Sang Putra yang kekal dilahirkan dari Allah sebelum segala abad, yaitu Ia yang dilahirkan dari jauhar Allah” (Mark N. Swanson, Folly to the Hunafa’: The Cross of Christ in Arabic Christian-Muslim Controversy in Eighth and Ninth Centuries AD. Rome: PISAI, 1995), hlm. 77. Selanjutnya, dzat dan shifât sebagai terjemahan dari ousia dan hypostasis dapat dibaca dalam karya apologet Kristen yang hidup zaman ‘Abbasiyyah, ‘Abd al-Masîh al-Kindi (wafat 830) sebagai berikut: Fa amma shifâtu dzâtihi tabâraka wa ta’alâ dzu kalimatu wa rûh azalî. “Sedangkan sifat Dzat-Nya, Maha Terpuji dan Mahatinggi Allah, adalah mempunyai Firman dan Roh yang kekal”. Sedangkan hypostasis ju-ga diterjemahkan uqnum (jamak:aqânim, dari bahasa Aram/Suryani: qno-ma), misalnya, dijumpai dalam karya Elias dari Nasibin:Inna llâha jauhar wâhid tsalâtsatu aqânim. “Sesungguhnya Allah itu jauhar esa dan tigauqnum” (Jean-Marie Gaudeul, Encounter and Clashes: Islam and Christi-anity in History. Vol. 2, Texts. Rome: Pontificio Institutio di Arabi et Islamici/PISAI, 1984), hlm. 55-57, 77.
[15]Ibid.
[16]Ibid.
[17]Anba Shenuda III, Lâhût al-Masîh (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2004), hlm. 8-9.
[18]Ungkapan jauhar sebagai terjemahan kata Yunani ousia disebut dalam karya apologet Kristen Theodore Abû Qurrah (awal abad ke-8 M), penerus Yuhanna Mansyur al-Dimasyqî, yang hidup pada permulaan dinasti ‘Ummayyah, antara lain berbunyi: Wa nahnu naqûlu inna l-ibna al-azalî al-maulûdu min al-Lâhi qabla kulli al-duhûr alladzî huwa min jauhari l-Lâh. “Dan kami berkata bahwa sesungguhnya Sang Putra yang kekal dilahirkan dari Allah sebelum segala abad, yaitu Ia yang dilahirkan dari jauhar Allah” (Mark N. Swanson, Folly to the Hunafa’: The Cross of Christ in Arabic Christian-Muslim Controversy in Eighth and Ninth Centuries AD. Rome: PISAI, 1995), hlm. 77. Selanjutnya, dzat dan shifât sebagai terjemahan dari ousia dan hypostasis dapat dibaca dalam karya apologet Kristen yang hidup zaman ‘Abbasiyyah, ‘Abd al-Masîh al-Kindi (wafat 830) sebagai berikut: Fa amma shifâtu dzâtihi tabâraka wa ta’alâ dzu kalimatu wa rûh azalî. “Sedangkan sifat Dzat-Nya, Maha Terpuji dan Mahatinggi Allah, adalah mempunyai Firman dan Roh yang kekal”. Sedangkan hypostasis ju-ga diterjemahkan uqnum (jamak:aqânim, dari bahasa Aram/Suryani: qno-ma), misalnya, dijumpai dalam karya Elias dari Nasibin:Inna llâha jauhar wâhid tsalâtsatu aqânim. “Sesungguhnya Allah itu jauhar esa dan tigauqnum” (Jean-Marie Gaudeul, Encounter and Clashes: Islam and Christi-anity in History. Vol. 2, Texts. Rome: Pontificio Institutio di Arabi et Islamici/PISAI, 1984), hlm. 55-57, 77.
[19]Kiranya
ayat ini lebih cocok diarahkan kepada sebuah bentuk “mujjasimah(anthropomorfisme)
bid’ah Kristen” yang menganggap Yesus dan Maryam adalah dua ilah disamping
Allah, padahal kedua-duanya mela-kukan aktivitas manusiawi, seperti “keduanya
memakan makanan” (Q.s. al-Maidah/ 5:75, “…kâna ya’-kulani th-tha’âm).
Padahal dalam Iman Kris-ten, fakta bahwa Yesus melakukan aktivitas-aktivitas
manusiawi sangat ditekankan, bersamaan dengan penekankan ke-“bukan makhluq”-an
Fir-man Allah, yang secara khusus ber-“shekinah” (berdiam) dalam diri
Yesus (Yoh. 1:14).
[20]Ibid, hlm.
9.
[21]Ibid, hlm.
9.
[22]Ibid.
[23]Anba Shenûda III, Qânûn al-Imân (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003, hlm. 46-47.
[23]Anba Shenûda III, Qânûn al-Imân (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003, hlm. 46-47.
[24]Mar
O’disho, The Book of Marganitha: The Pearl on the Truth of
Christianity. Translated from the Aramaic original by Mar Eshai Shimun
XXVI (Chicago: Committee of the Assyrian Chuch of the East, 1988), hlm.
106.
[25]Risto Santala, Op. Cit., hlm. 125.
[25]Risto Santala, Op. Cit., hlm. 125.
[26]Idries
Shah, Meraba Gajah dalam Gelap: Sebuah Upaya Dialog
Kristen Islam. Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1986),
hlm. 42.
[27]Geoffrey Parrinder, Jesus in The Qur’an (New York: Oxford University Press, 1977), hlm. 33-34.
[28]Pembahasan mengenai buku ini, lihat: Olaf Schumann, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 1992), hlm. 165-190.
[29]Apabila nama YHWH muncul berdiri sendiri (dibaca: Adonay, LAI: TUHAN) dalam bahasa Arab diterjemahkan ar-Rabb (dengan kata san-dang Al), tetapi apabila kedua kata muncul bersamaan: YHWH Adonay diterjemahkan: Ar-Rabb as-Sayid (Hab. 4:19, LAI: “ALLAH Tuhanku”). Se-dangkan YHWH Elohim dalam bahasa Arab diterjemahkan: Ar-Rabb al-Ilah (Kej. 2:4, LAI: “TUHAN Allah”).
[30]Teks asli Ibrani bisa dibaca dari terbitan Yahudi sendiri: Harold Fisch (ed.), Torah Nevi’m Ketuv’im – The Jerusalem Bible (Jerusalem: Koren Publishers Jerusalem Ltd., 1992).
[31]Risto Santala, Loc. Cit.
[32]Perumpamaan yang indah ini dipakai oleh Mar Timotius I, Pemimpin tertinggi Gereja Assyria Timur yang waktu itu berpusat di Bagdad, dalam dialognya dengan Kalifah al-Mahdi tahun 781, seperti dicatat dalam bukunya Dafâ’iyyâtu Masîhiyyati fî al-‘Ashar al-‘Abâsî al-Awwal (Villach, Austria: Light of Life, tanpa tahun). Sedangkan terjemahan bahasa Inggris, bisa dibaca: A. Mingana, The Apology of Timothy The Patriarch before The Caliph Mahdi. With Introduction by Rendel Harris, Woodbrooke Studies 2, Cambrige, 1923.
[33]Gregorius Yuhanna Ibrâhîm (ed), Shalû li-Ajlinâ: Khidmat al-Quddas wa Shalawat Syatta(Halab/Allepo: Dâr al-Raha lil Nasyir, 1993), hlm. 42.
[34]Dikutip dari Maurice Yuqarin, Târîkh al-Kanîsah: Juz I – Al-Majâmi’ al-Maskûniyyat al-Awwal wa al-Ghazawat al-Kubra (Ma’adi, Cairo: Mansyûrat al-Ma’had, 1966), hlm. 15.
[35]Dikutip dari Baba Shenuda III (ed.), Al-Agabiya: Al-Sab’u ash-Shalawât al-Nahâriyyah wa al-Lailiyyah (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), hlm. 78-80.
[27]Geoffrey Parrinder, Jesus in The Qur’an (New York: Oxford University Press, 1977), hlm. 33-34.
[28]Pembahasan mengenai buku ini, lihat: Olaf Schumann, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 1992), hlm. 165-190.
[29]Apabila nama YHWH muncul berdiri sendiri (dibaca: Adonay, LAI: TUHAN) dalam bahasa Arab diterjemahkan ar-Rabb (dengan kata san-dang Al), tetapi apabila kedua kata muncul bersamaan: YHWH Adonay diterjemahkan: Ar-Rabb as-Sayid (Hab. 4:19, LAI: “ALLAH Tuhanku”). Se-dangkan YHWH Elohim dalam bahasa Arab diterjemahkan: Ar-Rabb al-Ilah (Kej. 2:4, LAI: “TUHAN Allah”).
[30]Teks asli Ibrani bisa dibaca dari terbitan Yahudi sendiri: Harold Fisch (ed.), Torah Nevi’m Ketuv’im – The Jerusalem Bible (Jerusalem: Koren Publishers Jerusalem Ltd., 1992).
[31]Risto Santala, Loc. Cit.
[32]Perumpamaan yang indah ini dipakai oleh Mar Timotius I, Pemimpin tertinggi Gereja Assyria Timur yang waktu itu berpusat di Bagdad, dalam dialognya dengan Kalifah al-Mahdi tahun 781, seperti dicatat dalam bukunya Dafâ’iyyâtu Masîhiyyati fî al-‘Ashar al-‘Abâsî al-Awwal (Villach, Austria: Light of Life, tanpa tahun). Sedangkan terjemahan bahasa Inggris, bisa dibaca: A. Mingana, The Apology of Timothy The Patriarch before The Caliph Mahdi. With Introduction by Rendel Harris, Woodbrooke Studies 2, Cambrige, 1923.
[33]Gregorius Yuhanna Ibrâhîm (ed), Shalû li-Ajlinâ: Khidmat al-Quddas wa Shalawat Syatta(Halab/Allepo: Dâr al-Raha lil Nasyir, 1993), hlm. 42.
[34]Dikutip dari Maurice Yuqarin, Târîkh al-Kanîsah: Juz I – Al-Majâmi’ al-Maskûniyyat al-Awwal wa al-Ghazawat al-Kubra (Ma’adi, Cairo: Mansyûrat al-Ma’had, 1966), hlm. 15.
[35]Dikutip dari Baba Shenuda III (ed.), Al-Agabiya: Al-Sab’u ash-Shalawât al-Nahâriyyah wa al-Lailiyyah (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), hlm. 78-80.
Silahkan berkomentar dengan sopan atau langsung dihapus, terimakasih...
Terimakasih Pak Bambang atas pencerahannya !
ReplyDeleteYth Bapa Ibu Saudara Saudari yang terkasih dalam Tuhan Yesus saya ingin membagi kesaksian saya .
ReplyDeleteSebagai kesaksian saya secara pribadi mengenai Kebenaran Trinitas bukan doktrin Trinitas saya tulis diwebsite, silahkan lebih detail di download di website paling atas ketik: kebenaran-trinitas.com
Disini saya mencoba secara garis besar menerangkan Trinitas dan saya berdoa supaya Roh Kudus menerangi Bapak Ibu dalam membaca buku mengenai kebenaran akan Trinitas bukan doktrin Trinitas karena semuanya ada ditulis dalam Alkitab, Tuhan Yesus menerangi dan memberkati para pembaca
Hormat Saya
Ir. Johanes Sudarsiman
Penjelasan mengenai Trinitas secara singkat yaitu kesatuan antara BAPA (Tuhan YAHWEH), Putra (Yesus) dan Roh Kudus, Kalau kita berbicara mengenai Tuhan tidak lepas dari pengertian kuasa yang dimiliki, kalau Tuhan tidak punya kuasa tidak perlu dibicarakan.
Wujud Tuhan YAHWEH (dalam Alkitab ditulis TUHAN) adalah Roh (bisa di baca dalam P. Lama: Kejadian: 1:2-5), yang menciptakan dunia beserta isinya adalah Roh Tuhan YAHWEH, tanda ketuhanan adalah adanya kuasa dan mujizat yang bisa dilihat oleh ciptaannya.
Sedangkan manusia terdiri dari tubuh (daging), jiwa (rasa sedih, senang dll) dan roh, karena manusia mempunyai roh maka manusia bisa berfikir dan berbudaya, sedangkan binatang tidak mempunyai roh, inilah yang membedakan manusia bisa berfikir dan berbudaya sedangkan binatang tidak bisa berfikir dan berbudaya (Ayub 32:8, Yakobus 2:26, Yohanes 6:63-65, Daniel 5:12, Yesaya 11:2, 1 Tarawikh 22:12).
Tuhan Yesus adalah Roh Tuhan YAHWEH (BAPA) yang dimasukan kedalam kandungan perawan Maria dalam bentuk Roh Kudus (Matius1:18), karena kesamaan Roh Yesus yang berasal dari Roh BAPA maka Yesus 100% Tuhan, sebab Roh yang mempunyai kuasa mujizat, kesembuhan, kebangkitan, pengampunan dosa dan masuk kerajaan sorga, jadi Yesus adalah Tuhan pertama karena kesamaan Roh Yesus dan Bapa, kedua karena Rohnya sama dengan BAPA maka otomatis mempunyai kuasa yang sama(Matius 28:18) , hanya kuasa tentang hari kiamat terjadi tidak diberikan Tuhan Yesus yang tahu hanya BAPA (P. Baru: Matius: 24:34-36), dan Tuhan Yesus 100% manusia karena mempunyai tubuh yang sama dengan manusia yang bisa merasakan lapar, sedih dll (P. Baru: Matius: 4:1-4).
Kuasa sampai kepada BAPA, tidak ada seorangpun bisa sampai kepada BAPA tanpa melewati Yesus (Yohanes 14:6; Yohanes 10:25-30; Yohanes 14:9-10 ), berdasarkan kuasa ini merupakan suatu bukti kebenaran akan Trinitas, karena sampai ke BAPA harus melewati Yesus, maka kuasa Yesus sama dengan kuasa BAPA, dengan demikian Yesus dan BAPA adalah satu.
Akhir kata penulis menyampaikan: siapa yang mengetuk, pintu akan dibukakan, siapa yang mencari kebenaran dia akan mendapatkan dan siapa yang mendapatkan dia harus bersaksi tentang kebenaran.
Yang terhormat Bapak-Bapak silahkan mendownload di website paling atas ketik: kebenaran-trinitas.com
atau silakan dibuka lampiran dibawah ini
best regard
Johanes Sudarsiman
Nyuwun sewu Bapak Ibu saudara saudari yang terkasih dalam Tuhan Yesus, saya ingin membagikan pengalaman kesaksian saya mengenai kebenaran trinitas
ReplyDeleteNama saya: Johanes Sudarsiman
Ceritanya pendek kata saya ketika berdiskusi mengenai Trinitas dengan adik kandung saya tidak bisa selesai karena antara logika dan iman, kemudian saya berdoa kepada Tuhan Yesus untuk menerangi apa pengertian tentang Trinitas, kemudian suatu malam kira-kira jam 2 malam saya terbangun dan terasa diterangi oleh Roh Kudus, semua firman yang pernah saya baca teringat kembali seperti ada yang menata firman-firman ini membentuk suatu sesatuan yang menopang mengenai kebenaran akan Trinitas bukan dogma, setelah itu saya Tulis buku ini sebagai kesaksian saya pribadi.
Karena Trinitas ini merupakan fondasi iman kristen yang sering diperdebatkan tidak kunjung selesai maka saya berkeinginan membagikan pengalaman saya ini, silakan di buka lampirannya atau bisa didownload melalui google ketik : kebenaran-trinitas.com atau anda masuk ke internet bagian paling atas ketik: kebenaran-trinitas.com
Berdasarkan pada penerangan oleh Roh Kudus dan dialog dengan banyak orang, penulis dapat menyimpulkan beberapa pertanyaan penting yang berhubungan dengan Trinitas dan sering ditanyakan dalam debat, dialog maupun diskusi dan pertanyaan pertanyaan ini yang membawa penulis bisa lebih luas memahami hal-hal yang tidak terpikirkan, pertanyaan itu antara lain:
1. Apakah yang pertama kali yang diciptakan oleh Tuhan YAHWEH?
2. Mengapa manusia bisa berfikir dan berbudaya sedangkan hewan tidak bisa berfikir dan tidak mempunyai budaya
3. Siapa yang pertama menggunakan konsep Trinitas?
4. Untuk apa konsep Trinitas itu ada?
5. Yesus berbicara dalam Yohanes: 10:30 " Aku dan Bapa adalah satu. " tetapi Yesus tidak mengenal hari kiamat? in Matius: 24:36
6. Yesus juga Tuhan tapi Yesus tidak tahu hari kiamat Matius: 24:36
7. mengapa Yesus disebut Mesias dan mengapa Yesus disebut Tuhan?
8. Yesus Tuhan mengapa harus berpuasa
9. Yesus Tuhan mengapa ketika mau mati dia berbicara dalam Matius 27:46 ". . . that is to say, My God, my God, why hast thou forsaken me?
Pertanyaa No. 5 dan 6 ini pertamakali penulis diterangi oleh Roh Kudus dan pertanyaan ini mengandung philosofi yang luar biasa indahnya, belum ada didunia ini seindah philosofi ini pertanyaan ini pertama Roh Kudus menerangi saya tentang Trinitas dan menyuruh saya menulis buku ini.
Akhir kata penulis menyampaikan, setiap orang yang meminta akan menerima, siapa yang mengetok, pintu akan dibukakan, siapa yang mencari kebenaran dia akan mendapatkan dan siapa yang mendapatkan dia harus bersaksi tentang kebenaran itu karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.
Baca Amsal 8:22-36 Anda akan terkejut dan mengapa Tuhan Yahweh mengirimkan Amsal 8:22-36.
Hormat Saya
Ir.Johanes Sudarsiman
Aku d baptis pd tahun 2008 d gereja grah sejaterah yg ingin ku tanyakan pd surat korintius yg mewajibkan wanita bertudung. Knp cm para suster2 sj yg pakai tudung. Ap it tdk mengingkari ap yg tersurat dlm korintius? Mslg surat adzdariat ayat56 isi kandungan tdk sama dg yg di jelas kan olh dr bambang. Dan satu lagi blm ad peryataan bahwa yesus @ tuhan dan sembalah aku. Yg ad smua in krn bapa d surga bkn perkataan ku
ReplyDeletesubekhi008 .. cari dan baca penjelasan Bambang Noorsena dlm web ini.
ReplyDeletetubuh Yesus adalah manusia biasa, bisa lapar, sedih, kecewa bahkan mati dan habis. Tapi perilaku, sikap pemikiran dan perkataan Yesus adalah KALIMATULLAH (FIRMAN ALLAH)
Analoginya seperti Al Quran, yg terbuat dari kertas bisa lapuk, basah dan dimakan ngengat serta hancur, namun quran dipercaya oleh teman muslim adalah Kalam Allah/Firman Allah shg disucikan dan tidak boleh dilecehkan.
Bedanya, quran adalah firman allah berupa kertas (tapi dipercaya catatannya sbg Lauhul Mahfudz dan ada di Arasy), sementara Yesus adalah firman allah berupa anak manusia yg lahir dari roh Allah sendiri, dimana orang2 yahudi/nasrani menyebutnya sbg anak Allah-yg artinya anak manusia berasal dari roh allah langsung tanpa hub biologis.
Anak Allah hanya istilah, bukan anak Allah secara harfiah, sama spt kita menyebut anak sungai (sebutan sungai kecil/cabang sungai), anak panah (bagian dari panah yg melesat), anak jalanan (anak yg sering dijalanan) dsb.
Benarkah bahwa injil itu 30pct saja yg merupakan sabda Yesus putera maryam? Kl yesus itu ada roh allah tanpa hub badan. Bgmn dg adam dan hawa, ada rah allah tanpa tubuh manusia. Tulisan di atas masih sulit bg org bodoh macam sy u paham ttg trinitas.
ReplyDeleteHalo Warry warior saya bantu menjawab jadi Injil itu ada
Delete4, Matius, Markus, lukas, Yohanes yang menceritakan tentang Yesus sang fFirman yang Menjadi manusia, Yesus tidak datang membawa kitab karena Yesus adalah Sang Firman itu sendiri yang menjadi manusia, Adam dan hawa adalah ciptaan Tuhan, tetapi Yesus bukan ciptaan tetapi pencipta , dia sudah ada terlibat dahulu dari segala ciptaan, terimakasih,
Shalom saudara-saudari Kristen. Sudah ada yang pernah mendengar tentang Shema Yisrael? Ini adalah kalimat pengakuan iman orang Yahudi yang biasa diucapkan pada setiap ibadah mereka baik itu di rumah ibadat atau sinagoga maupun di rumah. Yesus juga menggunakan Shema untuk menjawab pertanyaan dari seorang ahli Taurat mengenai hukum yang utama. Kita dapat baca di Ulangan 6 ayat 4 dan Injil Markus 12 ayat 29. Dengan mengucapkan Shema, orang Yahudi mengakui bahwa YHWH ( Adonai ) Elohim itu esa dan berdaulat dalam kehidupan mereka. Berikut teks Shema Yisrael tersebut dalam huruf Ibrani ( dibaca dari kanan ke kiri seperti huruf Arab ) beserta cara mengucapkannya 👇🏻
ReplyDeleteTeks Ibrani Ulangan 6 ayat 4 : " שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה אחד "
Cara mengucapkannya : " Shema Yisrael YHWH ( Adonai ) Eloheinu YHWH ( Adonai ) ekhad "
Lalu berdasarkan halakha/ tradisi, diucapkan juga berkat: " ברוך שם כבוד מלכותו לעולם ועד " ( barukh Shem kevod malkuto le'olam va'ed ) yang artinya diberkatilah nama yang mulia kerajaanNya untuk selama-lamanya. אמן/ Amin🤲🏻
ש🕎✡️🐟📜🖖🏻🕍🗺️🕊️🌾🍇🍎🍏🥛🍯🍷