Benarkah Tatacara Ibadah Muslim Merupakan "Copy-Paste" Dari Tatacara Ibadah Umat Kristiani di Timur Tengah Yang Dilakukan Sejak Abad Pertama??
[.....berapa banyak muslim(di
Indonesia) yang tahu bahwa Umat Kristiani yang sejak semula berkembang di Timur
Tengah ternyata “melakukan shalat tujuh waktu” dalam ibadahnya? Mereka melakukan
“mullahan” atau tilawat, membaca Alkitab dengan nada tertentu. Muslim bahkan
tidak tahu sama sekali bahwa aktivitas ibadah seperti tersebut telah dilakukan
semenjak awal abad pertama!! Itu berarti sudah sejak ratusan tahun sebelum
Islam yang dibawa Muhamad berkembang di tanah Arab!! Ternyata muslim memang harus
banyak belajar “membuka” kacamata kuda yang selama ini disandangnya, bahwa
ternyata “ibadah shalat” yang mereka lakukan merupakan copy-paste dari ibadah
Umat Kristiani yang KHAS Timur Tengah dengan modifikasi tertentu. Artikel ini saya
copy dari laman BAMBANG NOORSENA CENTER karangan Bambang Noorsena, SH,MA yang adalah
seorang mantan muslim, dengan judul sama. Artikel ini sengaja saya muat dalam laman ini sekedar agar
pembaca yang muslim sedikit terbuka matanya, bahwa sesuatu yang telah
diaggapnya begitu mempesona sebagai sebuah karya bertendensi “islam” ternyata
memuat begitu banyak hal yang mesti dibenahi, termasuk didalamnya “ajaran” yang
mereka imani, selamat membaca...]
1. Catatan Pengantar
Fenomena sukses film “Ayat-ayat Cinta”,
arahan Hanung Bramantyo ini adalah menarik untuk dicermati. Film layar lebar
yang diangkat dari novel karya Habiburrahman el-Shirazy ini [1] dalam waktu
singkat telah berhasil meraup pemirsa lebih dari 3 juta orang di seluruh tanah
air. Ada yang menonton karena memang lebih dahulu sudah menbaca novelnya, ada
pula yang hanya “sekedar ingin tahu”, karena penyambutan film ini yang cukup
luas. Bukan hanya Dr. Din Syamsudin, Ketua PP Muhammadiyah, akan tetapi juga
melibatkan Presiden SBY, Wakil Presiden Jusuf Kala, yang memberikan sambutan
antusias.
Ada yang memuji, ada pula yang
menanggapi biasa-biasa saja. Ada apa di balik novel dan film ini? Beberapa
orang berkomentar, “ini iklan poligami”, “referensi baru buat pemilik rumah
makan Wong Solo”, tetapi ada pula yang serius mencermati kaitan film dan novel
ini dengan hubungan Kristen-Islam di Mesir. Artikel singkat ini, mungkin
tergolong yang terakhir, kebetulan tokoh Maria Girgis, yang digambarkan berasal
dari keluarga Kristen Koptik, Gereja pribumi di Mesir, sebagai Gereja Ortodoks
terbesar di dunia Arab. Sebagai seorang pengamat Gereja-gereja Timur,
kenyataannya saya menemukan beberapa kejanggalan mengenai tradisi Kristen
Koptik, yang digambarkan “secara sambil lari” dalam film ini.
2. Sekilas Film “Ayat-ayat Cinta”
Sebelum memberi beberapa catatan
terhadap novel dan film ini, bagi yang tidak membaca novel atau menonton film
ini, akan disarikan cerita yang diangkat oleh novelis muda lulusan Universitas
Al-Azhar, Cairo, ini:
Dikisahkan, Maria Girgis (Carissa
Putri), putri Tuan Butros dan Maddame Nafed [2] bertetangga flat (apartemen)
dengan Fahri, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Universitas al-Azhar. Maria,
terlahir dari keluarga Kristen Koptik, digambarkan mengagumi Al-Qur’an, karena
ayat-ayatnya yang dilantunkan indah, bersimpati pada Fahri. Simpati yang
akhirnya berubah menjadi cinta. Sayang sekali, Maria tidak pernah mengutarakan
perasaan hatinya. Ia hanya menuangkannya dalam diary saja.
Selain Maria, ada juga Nurul (diperankan
Melanie Putri), mahasiswi asal Indonesia, anak seorang kyai yang cukup kesohor,
yang juga menimba ilmu di Al-Azhar. Sebenarnya Fahri menaruh hati kepadanya,
tetapi sayang rasa cinta itu dihalangi oleh perasaan mindernya, karena Fahri
hanya anak seorang petani. Cinta yang akhirnya tak terucapkan. Ada juga
tetangga yang selalu disiksa “ayahnya”, dan Fahri ingin menolongnya, tetapi
justru itulah yang menjadi awal bencana baginya. Fahri harus beberapa saat
mendekam di penjara, karena tuduhan fitnah telah memperkosanya. Saat badai
fitnah menimpa, saat itu Fahri sudah menikah dengan Aisha, gadis Turki yang
menjadi warga Negara Jerman. Pendekatan diplomatik Indonesia buntu, gagal
membebaskan Fahri.
Tetapi berkat kewarganegaraan Jerman
yang dimiliki Aisha, pengadilan Mesir melunak. Fahri bebas, setelah dibuktikan
bahwa tuduhan itu fitnah belaka. Sebenarnya Fahri hanya difitnah, kesaksian
Noura palsu karena dinyatakan di bawah tekanan Bahadur, “ayah”nya. Padahal
Bahadur, yang ternyata bukan ayah kandungnya, justru dialah yang memerkosanya,
dan ingin menjualnya menjadi seorang pelacur. Sementara itu, Maria sedang
sakit, karena tekanan batin yang dideritanya karena Fahri telah menemukan
“sungai Nil”-nya, dan dia ternyata bukan dirinya. Tetapi berkat kegigihan Aisha,
istri Fahri, Maria berhasil dihadirkan ke pengadilan. Kedatangannya menolong
Fahri, karena ia menjadi saksi ketika Fahri dan Nurul menyembunyikan Noura di
rumah Nurul, demi menyelamatkan Noura dari amukan Bahadur.
Justru Aisha sendiri, yang ketika Maria
terbaring sakit, membaca diary-nya. Ternyata Maria memendam rindu kepada Fahri,
cinta yang dibawanya sampai ia terbaring sakit. Aisha terharu. Ia akhirnya
bersedia “membagi cinta” dengan Maria. Suaminya justru disuruh mengawini Maria,
karena itulah satu-satunya obat bagi kesembuhannya. Fahri dan Maria pun kawin
atas restunya. Madamme Girgis, ibu Maria, sangat berterima kasih dengan
pengorbanan Aisha. Madamme Girgis memeluk erat Aisha, ketika wanita keturunan
Turki itu menghindar dari akad nikah yang sedang diselenggarakan antara Fahri
dan Maria yang sedang berbaring sakit, karena tidak bisa menahan gejolak
jiwanya. Beberapa menit terakhir film ini diisi dengan adegan kebersamaan
antara Fahri dengan kedua istrinya. Ada cemburu antara kedua istri Fahri, tetapi
keduanya berusaha keras “menjaga hati”. Sementara Fahri mempergumulkan makna
keadilan bagi kedua istrinya. Aisha sedang hamil tua dan menunggu kelahiran
bayinya, sementara Maria kembali jatuh sakit. “Ajarilah aku shalat”, ucap Maria
kepada Fahri, “karena aku ingin shalat bersama kalian”. Fahri dan Aisha
terkejut luar biasa. Dan dalam keadaan terbaring Maria shalat bersama Fahri dan
Aisha, dan gadis Kristen Koptik itu mengehembuskan nafas terakhirnya sebagai
seorang muslimah.
3. Tradisi Kristen Koptik di Mesir –
Selayang Pandang
Gereja Ortodoks Koptik adalah gereja
pribumi Mesir. Gereja ini lahir sejak awal sejarah Kekristenan, diawali dari
kedatangan Rasul Markus, murid Rasul Petrus sekaligus penerjemahnya, yang juga
dikenal sebagai penulis Injil Markus [3]. Markus mati syahid di Alexandria
tahun 54 M, dan sejak saat itu Kekristenan berkembang pesat di “Negeri Firaun”
itu.
Berbeda dengan gereja-gereja di wilayah
Arab utara, khususnya Gereja Ortodoks Syria, yang sejak sebelum zaman Islam
sudah menggunakan bahasa Arab, terbukti dari temuan-temua prasasti pra-Islam di
wilayah Syria (Inskripsi Zabad tahun 512 M, Inskripsi Ummul Jimmal para abad VI
M, dan inskripsi Hurran al-Lajja tahun 568 M), Gereja Koptik mula-mula memakai
bahasa Koptik. Tetapi setelah kedatangan Islam, Gereja Koptik di Mesir mulai
memakai bahasa Arab, berdampingan dengan bahasa Koptik. Bahasa Koptik adalah
bahasa zaman Firaun yang aksara-aksaranya diperbarui dengan meminjam aksara
Yunani.
Perlu dicatat pula, di seluruh gereja
Timur, termasuk Gereja Ortodoks Koptik, masih dilestarikan tata-cara ibadah
dalam penghayatan budaya Kristen mula-mula. Misalnya: Shalat Tujuh Waktu
(Sab’ush shalawat) [4], Shaum al-Kabir (Puasa Besar) pra-Paskah, selama minimal
40 hari [5], membaca Injil dengan cara dilantunkan secara tartil (dikenal
dengan Mulahan Injil-yang paralel dengan Tilawat al-Qur’an, dan masih banyak
lagi. Anda bisa menyaksikan seorang pemuda yang komat-kamit membaca Kitab di
tangannya sewaktu naik bus, atau kendaraan lain di Mesir. Siapakah mereka?
Ternyata bukan hanya pemuda Islam yang membaca al-Qur’an, tetapi juga
pemuda-pemuda Koptik dengan tatto Salib di tangan [6] sedang membaca kitab
Agabea. Itulah Kitab Shalat Tujuh waktu, yang tidak pernah mereka alpakan, juga
ketika mereka sedang berkendara di jalan, sepulang kantor, atau berangkat ke
kampus.
Informasi terakhir, meskipun orang
Muslim atau orang Kristen di Mesir sama-sama berbahasa Arab, tetapi antara
keduanya tetap bisa dibedakan. Idiom-idiom keagamaan mereka berbeda, tetapi
juga tidak jarang pula sama atau paralel. Di koran-koran berbahasa Arab, ucapan
bela sungkawa orang Kristen biasanya diawali ungkapan: Intiqala ila Amjadis
samawat (Telah berpulang kepada Kemuliaan Surgawi), cukup mudah dibedakan
dengan kaum Muslim: Inna Iillahi wa Inna Ilayhi Rajiun (Sesungguhnya semua
karena Allah dan kepada-Nya pula semua akan kembali). Tapi ada banyak persamaan
tradisi, misalnya: pertunangan, perkawinan, kematian, dan masih banyak lagi.
4. Resensi atas Novel dan Film
“Ayat-ayat Cinta”
Kalau tidak berpretensi bisa atau mampu
dalam meresensi sebuah novel apalagi sebuah film. Saya hanya ingin memberi
beberapa catatan atas beberapa tradisi Mesir pada umumnya, dan tradisi Kristen
Koptik di Mesir khususnya, yang kadang-kadang kurang tepat disampaikan dalam
film ini:
4.1. Adat-Istiadat, Bahasa dan Budaya
Beberapa tokoh dalam film ini gagal
memerankan tokoh orang Mesir. Madamme Nafed (Marini), mamanya Maria, kala
mengucapkan kata: “bisyur’ah” (cepat!), tampak kurang ekspresif. Alangkah lebih
“Egypt” nuansanya, bila ia berkata dengan penekanan: “Yala, yala, bisyur’ah, Ya
Maria!”, misalnya. Begitu juga, sebagai sosok gadis Mesir, Maria yang
diperankan Carissa Putri, rasanya terlalu calm dan “melankolis”. Ketika ia
mengucapkan “Afwan” (terima kasih kembali), menjawab kata-kata Fahri ketika
menerima kiriman juice mangga yang dikirim Maria melalui tariakan keranjang
kecil dari jendela kamarnya: “Musyakirin awiala ashir Manggo” (Terima kasih
banyak atas juice mangga) [7]. Lebih ekspresif, seandainya Maria mengatakan:
“Afwan Ya Habibi!”.
Malahan dalam suatu pesta perkawinan
yang digambarkan dalam film tersebut, tidak ada bunyi jagreed (suatu bunyi
siulan ibu-ibu yang menandai penyambutan acara-acara kegembiraan mereka). Yang
juga tidak kalah penting untuk dicermati, dialek Arab tokoh Maria ketika
bertanya: Qamus ‘Arabi?, diucapkan dalam dialek terlalu “Saudi Arabia”: Qomus
Arabi? Saya kira ini salah satu kekhasan mahasiswa Islam asal Indonesia, karena
ketika belajar bahasa Arab di pesantren, lebih mirip dialek Saudi Arabia yang
memang lebih “fushah” (klasik). Tetapi tidak demikian dengan dialek Mesir,
mereka tidak mengucapkan: Subhro, Mubarok, Rohmat, melainkan: Subhra, Mubarak,
Rahmat, dan sebagainya.
Begitu juga, ungkapan salah seorang
Mesir ketika melerai pertengkaran: “Khalash! Khalash!” (sudah, sudah!), lebih
“Mesir” lagi kalau diucapkan: “Khalash, khalash ba’ah!”. Begitu juga, biasanya
seorang Mesir mengucapkan kara “La, la, la” (tidak, tidak, tidak!), sambil
dengan jari telunjuk bergerak-gerak, dan bibir berdecak. Ucapan “ahlan”,
biasanya diucapkan berkali-kali: “Ahlan, ahlan, ahlan…” Yang lebih mengganjal
lagi, dalam salah satu percakapan, seorang tokoh mengucapkan dialek Mesir
bercampur dengan bahasa Arab klasik: Asyan Ana bahibaki awi (Karena saya sangat
mencintaimu), mestinya: Asyan Ana bahibik awi. Asyan adalah ucapan cepat dari
alashan, sedangkan Ana Bahibak, Ana bahibik, dalam bentuk klasiknya: Ana
uhibuka, Ana uhibuki.
Lokasi syuting yang memang tidak dibuat
di Mesir, membuat pemirsa tidak bisa secara utuh mengikuti dan membayangkan
“suasana Mesir”. Mulai rumah-rumah warga kelas menengah ke atas, lengkap dengan
mashrabiya-nya [8], jalan-jalan kota lama Cairo yang macet, tidak terkecuali
Midan Tahrir dengan warung-warung Asher (juice) segarnya.. Malahan dalam suatu
pesta perkawinan yang digambarkan dalam film tersebut, tidak ada bunyi jagreed
(suatu bunyi siulan ibu-ibu yang menandai penyambutan acara-acara kegembiraan
mereka). Masih banyak adat kebiasaan lain, yang dalam film ini tidak berhasil
ditonjolkan dengan baik, sehingga ber-”suasana Indonesia dan India”, ketimbang
ber-”suasana Mesir”, dan negara-negara Arab di Timur Tengah pada umumnya.
4.2. Tradisi Kristen Koptik
Ada kesan kuat saya, bahwa penulis novel
ini, sekalipun lama tinggal di Mesir, tidak mengetahui budaya dan tradisi
Kristen Koptik. Misalnya, penggambaran Maria yang tertarik dengan Al-Qur’an
karena ayat-ayatnya di-”tilawat”-kan dengan indah. Padahal tradisi untuk
membaca Kitab Suci dengan tartil bukan hanya tradisi Islam, melainkan tradisi Timur
Tengah (baik Yahudi maupun Kristen Timur) jauh sebelum lahirnya Islam. Sampai
hari ini, gereja-gereja Timur (baik Gereja-gereja Ortodoks maupun Katolik ritus
Timur) membaca Kitab Suci yang tidak jauh berbeda.
Simbol salib hanya ditonjolkan untuk
mengisi latar belakang Koptik keluarga Maria, tetapi tradisi Koptik sama sekali
tidak dipahaminya. Misalnya; Madamme Girgis digambarkan berdoa dengan melihat
kedua tangan, padahal orang-orang Kristen di Timur Tengah berdoa dengan cara
menengadahkan tangan, sama dengan Islam.
Bedanya, dalam Islam diawali dengan
rumusan Basmalah: Bismillahi rahmani rahim (Dengan Nama Allah Yang Pengasih dan
Penyayang), sedangkan dalam Kristen dengan membuat tanda salib dan berkata:
Bismil Abi wal Ibni wa Ruhil Quddus al-Ilahu Wahid, Amin (Dengan Nama Bapa,
Putra dan Roh Kudus. Allah Yang Maha Esa, Amin).
Masih ada hal yang sangat menganggu,
yaitu tattoo Salib di tangan Maria terbalik, dan terlalu besar ukurannya. Dan
terakhir, permintaan Maria kepada Fahri ketika ia terbaring sakit:
“Ajarilah aku shalat!”, mestinya lebih baik diperjelas: “Ajarilah aku shalat
secara Islam!”.
Mengapa? Sebab kata “shalat” saja, di
Mesir dan di negara-negara Arab yang di dalamnya umat Islam dan Kristen hidup
bersama-sama, bukan merupakan terma eksklusif Islami. Jadi berbeda dengan
negara-negara Muslim non-Arab.
Orang-orang Kristen Koptik juga mengenal
waktu-waktu shalat yang tujuh kali sehari. Waktunya sama dengan shalat Islam,
ditambah dengan “shalat jam ketiga” (kira-kira jam 09.00 pagi, untuk
memperingati turunnya Roh Kudus, Kis. 2:15), dan jam 24.00 tengah malam, yang
dikenal dengan, shalat Nishfu Lail (tengah-malam). Lima waktu shalat
selebihnya untuk mengenal Thariq al-Afam (Via Dolorosa) atau jam-jam sengsara
Kristus.
Lebih jelasnya, kala shalat, jauh
sebelum zaman Islam kata ini sudah dipakai dalam bentuk Aram tselota. Menariknya,
waktu-waktunya memang sama dengan Islam (Subuh, Dhuhr, Asyar, Maghrib dan
Isya), dan dua sisanya sejajar dengan salat sunnah Dhuha dan Tahajjud. Meskipun
demikian, istilah, untuk waktu-waktu salat tersebut berbeda, dan waktu-waktu
doa ini mempunyai makna teologis terkait dengan jam-jam sengsara Yesus Kristus
(Thariq al-Afam) sebagai berikut:
1. “Salat jam pertama” (Shalat as Saat al-Awwal),
kira-kira jam 06.00 pagi waktu kita, untuk mengenang saat kebangkitan Kristus
Isa Al-Masih) dari antara orang mati (Markus16:2).
2. “Salat jam ketiga” (Shalat as-Sa’at ats-Tsalitsah),
kira-kira jam 9 pagi, yaitu waktu pengadilan Kristus dan turunnya Roh Kudus
(Markus 15:25; Kisah 2:15).
3. “Salat jam keenam” (Shalat as-Sa’at as-Sadi-sah),
kira-kira jam 12 siang, yaitu waktu penyaliban Kristus (Markus 15:33, Kisah
3:30).
4. “Salat jam kesembilan” (Shalat as-Saat at Tasiah),
kira-kira jam 3 petang, untuk mengenang kematian Kristus (Markus 15:33,38;
Kisah 3:1);
5. “Salat Terbenamnya Matahari” (Shalat al-Ghurub), yaitu
waktu penguburan jasad Kristus (Markus15:42).
6. “Salat waktu tidur” (Shalat ai-Naum), untuk mengenang
terbaringnya tubuh Kristus; dan
7. “Salat Tengah Malam” (Shalat as-Satar atau Shalat
Nishfu al-Layl) adalah jam berjaga-jaga akan kedatangan Kristus (Isa Al-Masih)
yang kedua kalinya (Wahyu 3:3)[9].
Salat Tujuh waktu (As-Sab’u Shalawat) ini, sama
sekali tidak ada hubungannya dengan Islam. Mengapa? Karena praktek doa ini,
khususnya seperti yang dipelihara di biara-biara, sudah ada jauh sebelum zaman
Islam. “Kanonisasi (waktu-waktu) salat” (Shalat al-Fardhiyah), sudah mulai
dilakukan dalam sebuah dokumen gereja kuno berjudul Al-Dasquliyyat atau Ta’alim
ar-Rusul yang editing terdininya dikerjakan oleh St.Hypolitus pada tahun 215 M.
[10]
5. Novel Religi, Film Dakwah: Bukan Film
Cinta Biasa
Seperti komentar banyak tokoh dalam
novel “Ayat-ayat Cinta”, memang hasil karya Habiburrahman el-Shirazy ini bukan
sekedar novel cinta biasa, melainkan novel cinta, religi, figh, politik yang
sarat dengan pesan-pesan keagamaan. Novel ini ingin menghadirkan Islam secara
damai, multi-kultural, sarat sentuhan nilai cinta kasih, dan jauh dari gambaran
kekerasan yang selama ini sering di-stigmakan oleh orang Barat.
Meskipun demikian, novel ini juga sarat
terhadap apologetika untuk membela Islam. Semangat dakwah yang berkobar-kobar
perlu diacungi jempol, tetapi terkadang “kelewat batas”. Misalnya, dalam Bab
33: “Nyanyian dari Surga” (tetapi bagian ini untungnya tidak divisualisasikan
dalam film), Maria bertemu dengan Bunda Maria, Ibunda Isa Al-Masih dalam
mimpinya ketika terbaring sakit. Di Bab Ar-Rahmah (pintu Rahmat), Bunda Kristus
itu, menampakkan diri begitu anggun dan luar biasa. “Dia (Allah) mendengar haru
biru tangismu”, kata Bunda Maria, “Apa maumu?”. “Aku ingin masuk surga.
Bolehkah?”, tanya Maria sambil menangis.
“Boleh”, jawab Bunda Maria. “Memang
surga diperuntukkan untuk semua hamba-Nya. Tapi kau harus tahu kuncinya”. “Apa
kuncinya?”, tanya Maria. “Nabi pilihan Muhammad Saw telah mengajarkannya
berulang-ulang. Apakah kau tidak mengetahuinya?”, tegas Bunda Maria. “Aku tidak
mengikuti ajarannya”, kata Maria. “Itu salahmu!”, kata Bunda Maria lagi. Lalu
dijelaskan bahwa jalan ke surga itu harus lewat Islam.
“Maria, dengarlah baik-baik!”, kata
Bunda Kristus kepadanya. “Nabi Muhammad sudah mengajarkan kunci untuk masuk
surga, “Barangsiapa berwudhu dengan baik lalu mengucapkan: Asyhadu an La ilaha
illallah wa asyhadu anna Muhamadan abduhu wa rasuluh (Saya bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah Hamba-Nya dan
Rasul-Nya), maka akan dibukakan delapan pintu surga untuknya dan ia boleh masuk
yang mana ia suka.” Maria akhirnya masuk Islam, mengucapkan syahadat dan
melaksanakan shalat sebelum ajal menjemputnya. Inilah “ending” novel dakwah
ini.
6. Catatan Reflektif
Catatan reflektif saya, untuk mengakhiri
artikel singkat ini, sedikit saja. Setiap orang bebas untuk menyatakan
keyakinannya. Termasuk keyakinan bahwa surga itu hanya “hak orang-orang
Muslim”. Kalau anda tertarik dengan tawaran ini, silakan saja. Bebas dan tidak
ada yang melarang. Tetapi pernahkah anda berpikir, apakah orang lain yang
berkeyakinan berbeda bebas juga mengutarakan keyakinannya? Seperti keyakinan
bahwa Bunda Maria, tokoh paling suci dalam Kekristenan setelah Yesus Kristus,
telah menunjuk bahwa jalan ke surga harus melalui Muhammad.
Bolehkah orang Kristiani, yang
mempercayai bahwa Yesus adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup, dan tidak
seorangpun yang sampai kepada Bapa kecuali melalui Kristus (Yohanes 14:6),
meminjam “lisan Nabi Muhammad” untuk mengajar keyakinan itu? Moga-moga anda
membolehkannya, seperti kami tidak mendemo ketika “Ayat-ayat Cinta” meminjam
“mulut suci Bunda Maria” untuk dakwah agama Islam.
Kalau begini, mengapa harus marah kepada
Ahmadiyah? Sebaliknya, mengapa harus mengelu-elukan “Injil Yudas”, dan “The Da
Vinci Code”, tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain yang tidak menyetujuinya?
Katakanlah, “berjuta-juta orang Kristen yang tersakiti perasaannya” karena
publikasi novel dan film itu?”
Padahal film ini akan lebih mendidik
lagi, kalau misalnya diungkap juga fakta keberdampingan harmonis kehidupan umat
Kristen dan umat Islam di negeri yang oleh Ibnu Khaldun dijuluki “lbunda Dunia”
ini. Misalnya, tenda-tenda Maidah ar-Rahman (Jamuan Sang Pengasih), yaitu
jamuan makan gratis yang dibuka di jaan-jalan kota Kairo, yang di beberapa
wilayah Koptik, seperti Subhra, misalnya, selalu dibuka oleh uskup Gereja
Ortodoks Koptik sebagai simbol persatuan nasianal (Wihdat al- Wathani).
Begitu juga, kehadiran Syeikh Al-Azhar,
Dr. Muhammad Tanthawi, pada acara Idul Milad (Natal) di Katedral Al-Qidis
Marqus, Abbasiya. Tradisi saling mengucapkan selamat hari raya, baik hari-hari
raya Islam maupun hari-hari raya Kristen, juga menjadi kebiasaan yang patut
dijadikan referensi di negara-negara mayoritas Muslim non-Arab, seperti
Afganistan, Pakistan, dan Indonesia akhir-akhir ini, yang terkadang “lebih Arab
ketimbang negara-negara Arab sendiri” [11].
Dan akhirnya, berbarengan dengan
perasaan sedih dan menyayangkan peredaran film “The Fitna”, saya yang terus
menerus mencoba memahami sukacita anda menyambut film “ayat-ayat Cinta”,
izinkanlah saya mengucapkan: Mabruk, (Selamat!) atas prestasi dan sukses film
ini. Ini bukan basa-basi. Karena sekalipun ada yang tidak saya setujui isinya,
tapi hati saya turut merasakan gembira bila anda bergembira.
*) Bambang Noorsena adalah pendiri
Institute for Syriac Christian Studies (ISCS), alumnus Kajian Perbandingan
Agama pada Dar Comboni Institute, Cairo, Mesir.
Lampiran dan Catatan Kaki :
7. Lampiran Novel Ayat-ayat Cinta Hal.
400 – HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY
Yang kuhafal, adalah surat Maryam yang
tertera di dalam Al-Quran. Dengan mengharu biru aku membacanya penuh
penghayatan.
“Selesai membaca surat Maryam aku
lanjutkan surat Thaha. Sampai ayat sembilan puluh sembilan aku berhenti karenaa
Babur Rahmah terbuka perlahan. Seorang perempuan yang luar biasa anggun dan
sucinya keluar mendekatiku dan berkata, “Aku Maryam”. Yang baru saja kausebut
dalam ayat-ayat suci yang kau baca. Aku diutus oleh Allah untuk menemuimu. Dia
mendengar haru biru tangismu. Apa maumu? Aku ingin masuk surga. Bolehkah?
“Boleh”. Surga memang diperuntukkan bagi semua hambaNya: Tapi kau harus tahu
kuncinya?’ Apa itu kuncinya?
‘Nabi pilihan Muhammad Saw. telah
mengajarkannya berulang-ulang. Apakah kau tidak mengetahuinya?’ Aku tidak
mengikuti ajarannya.’ Itulah salahmu.’
Kau tidak akan mendapatkan kunci itu
selama kau tidak mau tunduk penuh ikhlas mengikuti ajaran Nabi yang paling
dikasihi Allah ini. Aku sebenarnya datang untuk memberitahukan kepadamu kunci
masuk surga. Tapi karena kau sudah menjaga jarak dengan Muhammad Saw,
maka aku tidak diperkenankan untuk memberitahukan padamu.
Bunda Maryam lalu membalikkan badan dan
hendak pergi. Aku langsung menubruknya dan bersimpuh di kakinya. Aku menangis
tersedu-sedu. Memohon agar diberitahu kunci surga itu. Aku hidup untuk mencari
kerelaan Tuhan. Aku ingin masuk surga hidup bersama orang-orang yang beruntung.
Aku akan melakukan apa saja, asal masuk surga. Bunda Maryam, tolonglah aku.
Berilah aku kunci itu! Aku tidak mau pergi selama-lamanya. Aku terus menangis
sambil menyebut-nyebut nama Allah.
———————————
[1] Habiburrahman EI Shirazy, Ayat-ayat Cinta: Sebuah Novel Pembangun Jiwa. Edisi Revisi (Jakarta: Basmala dan Harian Republika.2006).
[2] Nama Girgis (arabisasi dari nama George, seorang santo atau al-qidis, yang sangat populer di Gereja-gereja orthodoks), Butros (arabisasi dari Petrus) dan nama-nama dalam bahasa Yunani, Ibrani atau Koptik, orang-orang Kristen Arab bisa juga memakai nama-nama Arab sebelum dan sesudah Islam. Biasanya, nama-nama Kristen Arab misalnya: Abdul Masih (Hamba Kristus), Abdul Fadi (Hamba Sang Penebus), cukup mudah dibedakan dengan nama-nama Arab Muslim: Abdul Aziz, Ramadhan, Mahmud, Ahmad, Ashraf dan sebagainya. Tetapi nama-nama seperti Abdullah (Hamba Allah), Ibrahim, Ishak, Mukmin, dan masih banyak lagi, adalah nama-nama netral yang dipakai baik orang Kristen maupun Islam
[3] Irish Habib al-Masri, Qishah Al-Kanisah al-Qibthiyyah. Jilid I (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), hlm. 20-33. Lihat juga: A. Wessels, Arab and Christian? Christian in the Middle East (Kampen: Kok Pharos Publishing House, 1995), him. 126.
[4] 4Lihat panduan Shalat dalam Gereja Orthodoks Koptik: A/-Ajabiyya: As-Sab’u Sha/awot An-Nahtriyyah wa Lailiyyat (Cairo: Maktabah al-Mahabbah,2001).
[5] 5AI-Qush Yoanis Kamal, Tartib UshbO’ A/-A/om (Oar al-Jilli ath-Thaba’ah,2001).
[6] Munculnya tradisi tattoo salib di tangan, pertama kali berasal dari masa penganiayaan. Tanda itu menjadi semacam kode sesama umat Kristen demi keselamatan mereka dari para penganiaya mereka. Karena Gereja Koptik Mesir pada zaman Romawi menjadi gereja yang teraniaya, maka tarikh Koptik yang ditandai dengan peredaran bintang Siriuz, disebut dengan Tahun Kesyahidan (Anno Martyri), yang tidak termasuk tahun syamsiah (matahari) ataupun qamariyah (bulan), tetapi disebut tahun kawakibiyah (tahun bintang).
[7] Kata “musyakirin awi ala …” (Terima kasih banyak atas…) adalah dialek khas Mesir, kata “awi” asalnya dari: “qawwi” (besar), dalam bahasa Arab klasik: “Syukran ‘ala… ” (terima kasih atas…), atau “Alfu syukran ‘ala …” (beribu terima kasih atas…)
[8] Mashrabia adalah jendela kecil yang terbuat dari kayu dan dihias dengan ukiran halus, biasanya digunakan oleh anak-anak gadis orang kaya untuk mengintip keluar tetapi orang tidak bisa melihat ke dalam.
[9] Fakta bahwa seluruh gereja-gereja di Timur, baik Ortodoks maupun Katolik ritus Timur. melaksanakan salat tujuh waktu baik sebelum maupun sesudah Islam dengan jelas dicatat Aziz S. Atiya, History of Eastern Christianity (Nostre Dome. Indiana: University of Nostre Dame Press, Lt.). Demikialah catatan Aziz S. Atiya mengenai pelestarian ibadah ini pada tiap-tiap Gereja: Orthodoks Koptik: “These seven hours consisted of the Morning prayer, Terce, Sext, None, Vespers, Compline and the Midnight prayer…” (hlm. 128).
Mengenai Gereja Orthodoks Syria, “…keep usual hours from Matins to Compline, with they describe as the ‘protection prayer’ (Suttara) before retiring” (hlm. 124). Sedangkan Gereja Maronit di Lebanon: “Seven in number., they are the Night Office, Matins, Third, Sixth and Nine Hours, Verpers and Compline” (hlm. 414). Lebih lanjut. mengenai Shalat Tujuh Waktu ini dalam bahasa Arab. lihat: Mar Ignatius Afram al-Awwal Borshaum (ed.), Al-Tuhfat al-Ruhiyyahi fi ash-Shalat al-Fardhiyyah (Aleppo. Suriah: Dar al-Raha Ii an-Nasyr. 1990).
[10] Marqus Dawud (ed.), Al-Dasquliyyah, ar Ta’alim arï Rusul (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), Bab: Auqat Shalawat (Waktu-waktu Salat), hlm. 171-172.
[11] Lih. Artikel saya: Bambang Noorsena, “Ramadhan di Cairo”, di Surabaya Post, 20 Agustus 2004.
[1] Habiburrahman EI Shirazy, Ayat-ayat Cinta: Sebuah Novel Pembangun Jiwa. Edisi Revisi (Jakarta: Basmala dan Harian Republika.2006).
[2] Nama Girgis (arabisasi dari nama George, seorang santo atau al-qidis, yang sangat populer di Gereja-gereja orthodoks), Butros (arabisasi dari Petrus) dan nama-nama dalam bahasa Yunani, Ibrani atau Koptik, orang-orang Kristen Arab bisa juga memakai nama-nama Arab sebelum dan sesudah Islam. Biasanya, nama-nama Kristen Arab misalnya: Abdul Masih (Hamba Kristus), Abdul Fadi (Hamba Sang Penebus), cukup mudah dibedakan dengan nama-nama Arab Muslim: Abdul Aziz, Ramadhan, Mahmud, Ahmad, Ashraf dan sebagainya. Tetapi nama-nama seperti Abdullah (Hamba Allah), Ibrahim, Ishak, Mukmin, dan masih banyak lagi, adalah nama-nama netral yang dipakai baik orang Kristen maupun Islam
[3] Irish Habib al-Masri, Qishah Al-Kanisah al-Qibthiyyah. Jilid I (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), hlm. 20-33. Lihat juga: A. Wessels, Arab and Christian? Christian in the Middle East (Kampen: Kok Pharos Publishing House, 1995), him. 126.
[4] 4Lihat panduan Shalat dalam Gereja Orthodoks Koptik: A/-Ajabiyya: As-Sab’u Sha/awot An-Nahtriyyah wa Lailiyyat (Cairo: Maktabah al-Mahabbah,2001).
[5] 5AI-Qush Yoanis Kamal, Tartib UshbO’ A/-A/om (Oar al-Jilli ath-Thaba’ah,2001).
[6] Munculnya tradisi tattoo salib di tangan, pertama kali berasal dari masa penganiayaan. Tanda itu menjadi semacam kode sesama umat Kristen demi keselamatan mereka dari para penganiaya mereka. Karena Gereja Koptik Mesir pada zaman Romawi menjadi gereja yang teraniaya, maka tarikh Koptik yang ditandai dengan peredaran bintang Siriuz, disebut dengan Tahun Kesyahidan (Anno Martyri), yang tidak termasuk tahun syamsiah (matahari) ataupun qamariyah (bulan), tetapi disebut tahun kawakibiyah (tahun bintang).
[7] Kata “musyakirin awi ala …” (Terima kasih banyak atas…) adalah dialek khas Mesir, kata “awi” asalnya dari: “qawwi” (besar), dalam bahasa Arab klasik: “Syukran ‘ala… ” (terima kasih atas…), atau “Alfu syukran ‘ala …” (beribu terima kasih atas…)
[8] Mashrabia adalah jendela kecil yang terbuat dari kayu dan dihias dengan ukiran halus, biasanya digunakan oleh anak-anak gadis orang kaya untuk mengintip keluar tetapi orang tidak bisa melihat ke dalam.
[9] Fakta bahwa seluruh gereja-gereja di Timur, baik Ortodoks maupun Katolik ritus Timur. melaksanakan salat tujuh waktu baik sebelum maupun sesudah Islam dengan jelas dicatat Aziz S. Atiya, History of Eastern Christianity (Nostre Dome. Indiana: University of Nostre Dame Press, Lt.). Demikialah catatan Aziz S. Atiya mengenai pelestarian ibadah ini pada tiap-tiap Gereja: Orthodoks Koptik: “These seven hours consisted of the Morning prayer, Terce, Sext, None, Vespers, Compline and the Midnight prayer…” (hlm. 128).
Mengenai Gereja Orthodoks Syria, “…keep usual hours from Matins to Compline, with they describe as the ‘protection prayer’ (Suttara) before retiring” (hlm. 124). Sedangkan Gereja Maronit di Lebanon: “Seven in number., they are the Night Office, Matins, Third, Sixth and Nine Hours, Verpers and Compline” (hlm. 414). Lebih lanjut. mengenai Shalat Tujuh Waktu ini dalam bahasa Arab. lihat: Mar Ignatius Afram al-Awwal Borshaum (ed.), Al-Tuhfat al-Ruhiyyahi fi ash-Shalat al-Fardhiyyah (Aleppo. Suriah: Dar al-Raha Ii an-Nasyr. 1990).
[10] Marqus Dawud (ed.), Al-Dasquliyyah, ar Ta’alim arï Rusul (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), Bab: Auqat Shalawat (Waktu-waktu Salat), hlm. 171-172.
[11] Lih. Artikel saya: Bambang Noorsena, “Ramadhan di Cairo”, di Surabaya Post, 20 Agustus 2004.
Silahkan memberikan komentar yang
sopan atau langsung akan dihapus, terimakasih....
dengan penjelasan ini semakin yakin akan kebenaran. Allah Maha Besar dan Dia tidak duduk di sebelah kanan bapanya. Kebenaran terbukti dengan datang matahari terbit dari barat. dan kebenaran itu akan ada di dalam orang-orang yang melakukan sujud, karena dengan sujud syaraf-syaraf otak teraliri darah dengan sempurna, sehingga dapat berfikir dengan benar.
ReplyDeletePenulis ayat-ayat cinta tidak mengenal dengan baik kristen koptik,memalukan..
ReplyDeletePenulis ayat-ayat cinta tidak mengenal dengan baik kristen koptik,memalukan..
ReplyDelete